Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Matematika dan IPA (MIPA) Unhas mengadakan diskusi tematik bertemakan “Pandemi Versi Birokrasi Kampus: Langgengnya Privatisasi Kampus Merah dan Pengabaian Aspirasi Mahasiswa” melalui aplikasi Zoom Meeting, Sabtu (20/2). Dimoderatori oleh Koordinator Diskusi Tematik, Amelia Fauziah, diskusi ini mengundang perwakilan Komunal Nokturnal, Andi Hendra ER, perwakilan Aliansi Mahasiswa Unhas, Khoirul Zaman S, perwakilan BEM Unhas 2019-2020, Muhammad Yusran, serta Ketua BEM FMIPA Unhas 2020-2021, Abdul Rahman sebagai pemantik.
Mengawali diskusi, Khoirul menegaskan perlunya memperhatikan sistem akademik di Unhas. Menurutnya, sistem pola pendidikan kampus ini memang dituntut untuk lahir berdasarkan kebutuhan pasar.
“Banyak kegagalan gerakan mahasiswa bersumber dari sulitnya mengumpulkan rekan. Kita harus memikirkan solusi untuk mengelola sistem pendidikan sehingga dapat memerdekakan teman-teman tanpa jeratan tugas yang menumpuk,” ujar Khoirul.
Adapun sistem-sistem yang ada selalu menggerogoti pergerakan mahasiswa. Khoirul menambahkan, urgensi memperkecil politik pecah belah yang terjadi di Unhas.
“Revolusi pendidikan bukanlah hal yang mustahil jika prasyarat dapat dilengkapi bersama. Kalau kita mau mengubah sistem, maka jangan pernah bermain dalam sistem. Kita harus membuat gerakan yang tidak tercium oleh sistem,” tutur Khoirul membakar semangat peserta diskusi.
Poin tersebut digarisbawahi oleh Amel. Ia juga mengatakan, selain berdampak dari segi kesehatan, pandemic ini juga berimbas ke dunia pendidikan. Khususnya di Unhas, BEM FMIPA melihat kampus merah terkesan mengusung pandemi sebagai alasan untuk mengabaikan aspirasi mahasiswa.
“Mulai dari polemik pembelajaran daring hingga beberapa kebijakan yang dikeluarkan Unhas dalam merespon kesulitan mahasiswa di masa pandemi. Seringkali kebijakan tersebut menimbulkan masalah dalam penerapannya,” ungkap Amel.
Ia berharap, diskusi ini dapat menjadi wadah dialektis mahasiswa Unhas dalam merespon kebijakan yang dikeluarkan oleh Unhas. Tidak hanya sekadar menerima kebijakan, melainkan perlunya sikap kritis guna mewujudkan pendidikan yang berkeadilan.
“Kita juga harus menjadikan lembaga kemahasiswaan tingkat universitas maupun fakultas sebagai wadah kolektif dalam menanggapi kebijakan kebijakan,” pungkas Amel.
M211