Kisah ini dibangun atas mimpi kawanan burung membentuk peradaban baru di hutan Kalimantan. Namun, mereka harus melawan manusia agar tujuannya itu dapat tercapai. Lantas, dapatkah kawanan burung itu melaksanakannya?
Aesna, si penulis, membuat pembaca seakan berada di masa depan, tepatnya di tahun 2683. Kemampuan mendeskripsikannya sanggup mengantar pembaca benar-benar merasakan hal itu.
Ia menceritakan, di tahun 2683 keadaan bumi sungguh kacau. Hutan yang menjadi sumber pasokan oksigen dibabat habis hingga rata dengan tanah oleh sekelompok manusia. Bahkan rimba kedua terakhir di bumi yang berada di Afrika tak luput dari perilaku tersebut. Setelah meratakan semua sisa pohon, mereka kemudian membangun tempat yang dilaknat oleh Tuhan. Ya, rumah bordil dan taman seksual.
Oleh sebab itu, para bangsa aves yang masih dapat bertahan hidup bermigrasi ke daerah hutan Kalimantan. Sebagai hutan terakhir di muka bumi, tentu ini adalah satu-satunya pilihan bagi para burung untuk membangun peradaban baru di sana.
Tak lebih dari lima ratus spesies yang berhasil bertahan, berbondong-bondong mengangkut kayu untuk membangun peradaban baru. Namun siapa sangka, burung jenis Albatros yang selama ini dianggap punah tetiba muncul di tengah kawanan burung tersebut.
Hal itu mengejutkan bagi para burung. Sebab Albatros merupakan jenis burung legendaris dalam kitab suci kaum burung yang dikabarkan telah lama punah. Burung Albatros itu bernama Rindang. Dan dia adalah seekor betina.
Burbur, burung jenis Kasumba yang terkenal sebagai ilmuwan, merasa sangat senang dengan kejadian ini. Pun sahabatnya, sang Pembawa Kabar yang merupakan pemimpin perjalanan merasakan hal yang sama.
Sayangnya, baru beberapa hari mereka habiskan bersama Rindang, nasib buruk kemudian menimpa burung suci itu. Sebuah peluru melejit dari senapan milik pemburu dan mengenai bola mata Rindang. Akibatnya mereka harus menerima kenyataan bahwa burung Albatros benar-benar telah punah.
Seketika, tubuh Rindang yang tergeletak di tanah mengeluarkan seberkas cahaya. Selang beberapa lama, bangkai itu berubah menjadi tubuh manusia yang amat indah. Wajah oval dengan hiasan bibir tipis menambah kemolekan tubuhnya. Ternyata ia adalah dewi burung yang selama ini menjadi penyelamat bangsa burung. Lalu, sanggupkah kawanan burung ini melawan ketamakan Peluru tanpa dewi penyelamatnya?
Sila temukan sendiri jawabannya ya, hehe. Oh iya, melalui buku setebal 96 halaman ini, Aesna banyak memberikan pesan moral bagi pembaca. Misalnya, ketika seseorang sedang merasa putus asa, maka orang terdekatnya lah yang berperan penting dalam mengembalikan semangatnya. Hal ini dikisahkan pada persahabatan Burbur dan sang Pembawa kabar.
Tak hanya itu, Aesna juga memaparkan kepada pembaca terkait pentingnya membaca buku. Ini dapat dilihat dari kisah Burbur, burung Kasumba yang memiliki banyak pengetahuan karena banyak membaca buku.
Selain itu, manusia yang tak berperasaan dengan menghancurkan hutan juga menjadi sentilan dalam buku yang terbit Oktober 2018 lalu ini. Hal itu didasari kepriprihatinan Aesna dengan keadaan bumi sekarang.
Meski begitu, beberapa cerita yang disuguhkan membuat pembaca mesti lebih berkonsentrasi agar dapat menangkap makna dari kalimat yang Aesna tuangkan dalam buku. Sebab terdapat beberapa kata yang sangat jarang digunakan atau ditemukan dalam kehidupan sehari-sehari. Misalnya, kata “bersililokui”.
Di sisi lain, novel terbitan mojok ini sangat baik bagi pembaca pemula. Disamping halamannya yang tidak begitu tebal, cerita yang disuguhkan pun menarik dan relevan dengan keadaan saat ini. Selamat membaca.
Data Buku
Judul Resensi : Kisah Planet Biru di Masa Depan
Judul Novel : Cerita Bumi Tahun 2683
Penulis : Aesna
Penerbit : Mojok
Kota : Yogyakarta
Tanggal Terbit : Cetakan pertama, Oktober 2018
Jumlah Halaman : 96 halaman
Penulis: Wandi Janwar