Di masa adaptasi kebiasaan baru ini, kebutuhan akan hand sanitizer atau cairan pencuci tangan meningkat pesat. Pada umumnya, cairan anti bakteri ini terbuat dari 70-75% alkohol. Namun, jika digunakan secara berlebihan dapat menimbulkani efek samping.
Seperti di lansir dari halodoc.com, seseorang yang menggunakan hand sanitizer secara berlebihan dapat menyebabkan kulit kering. Hal ini karenakan alkohol bisa mengikis kelembaban kulit, sehinggaa kulit jadi terasa kering, pecah-pecah, bahkan timbul eksim (gangguan) pada seseorang dengan kulit sensitif.
Hal inilah yang memotivasi Mahasiswa Fakultas Pertanian, Rahmawati untuk membuat hand sanitizer dari bahan alam. Bersama rekannya, Nurul Mutiasih yang juga mahasiswa pertanian dan Hernawati dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam membentuk tim Program Mahasiswa pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNas) 2020.
Sebagai ketua tim, Rahma mengatakan labu siam memiliki banyak manfaat, salah satunya sebagai antibiotik. Ia bersama rekannya pun tergerak untuk membuat inovasinya. “Labu siam memiliki banyak kandungan yang bisa dibuat hand sanitizer. Oleh karenanya, kami ingin memanfaatkan labu ini selain sebagai bahan pangan” katanya, Selasa (8/12).
Kandungan senyawa pada labu siam bekerja merusak dan mengganggu dinding sel bakteri. Sehingga dapat menghambat perkembangan dan pembentukan DNAnya, inilah yang dapat membunuh bakteri.
Dari hasil kajiannya, membuktikan bahwa kandungan senyawa pada labu siam bekerja merusak dan mengganggu dinding sel bakteri. Sehingga dapat menghambat perkembangan dan pembentukan DNAnya, hal inilah yang dapat membunuh bakteri.
Selain itu, kata Rahma inovasi ini juga menambahkan kayu manis yang memiliki manfaat sama dengan labu siam. Terlebih lagi kayu manis memiliki wangi alami. Mahasiswa angkatan 2017 ini bercerita, kedua bahan ekstraksi (pemisahan zat) beberapa kali dilarutkan n-heksana, etil esetat dan etanol 70% untuk mendapatkan kadar senyawa aktif tertinggi dari masing-masing pelarut.
“Kayu manis dihaluskan hingga berbentuk serbuk. Sebanyak 500 gram dimasukkan ke dalam termos yang dilarutkan bersama n-heksana dengan perbandingan 1:3. Selanjutnya sampel dihomogenkan dan dimaserasi (mengambil senyawa) selama 6 jam dan 24 jam lalu filtrat dan ampas sampel dipisahkan. Ampas dari ekstraksi dengan n-heksana kemudian dilarutkan dalam larutan etil asetat dengan perbandingan 1:3 dan dimaserasi selama 6 jam dan 24 jam,” papar Rahman dan tim dalam laporannya.
lebih lanjut, ampas dari hasil ekstraksi dilarutkan bersama etanol 70% dengan perbandingan 1:3. Setelah homogen, sampel dimaserasi lagi selama 6 dan 24 jam lalu filtrat dan ampas dipisahkan. “Tiap-tiap filtrat dipisahkan dengan pelarutnya menggunakan evaporator, kemudian dilakukan uji zona hambat bakteri dan total bakteri untuk mengetahui hasil ekstrak dengan filtrat yang memiliki senyawa aktif antibakteri terbaik,” lanjutnya.
Rahma menuturkan, kemampuan senyawa dalam menghambat bakteri bergantung pada jumlah senyawa yang terekstrak. Oleh karena itu, diperlukan pelarut yang sesuai dalam mengekstrak senyawa dari kedua bahan tersebut.
Penelitian yang berlangsung di masa pandemi ini, membuat Rahmawati dan teman-teman mengalami kendala. Mulai dari waktu pertemuan yang terbatas, aturan dari Kemdikbud yang hanya melakukan penelitian secara daring, hingga kurangnya data primer yang diperoleh.
Tetapi hambatan itu tidak menyurutkan semangat Rahma dan timnya. Mereka pun mengusahakan gagasannya itu hingga benar-benar bisa dimanfaatkan dan membuahkan produk. “Kami berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan dan dijadikan sebuah produk,”harapnya.
Badaria