Tahun politik segera tiba. Riuh perdebatan antar pendukung sudah terdengar. Bahkan pembahasan tentang politik terus bergaung jadi perbincangan. Tidak hanya di media sosial, di warung-warung kopi, juga dari kamar kos mahasiswa, serta di pelataran-pelataran kampus, mulai bising dengan pembahasan politik. Lima tahun sekali hal seperti ini terjadi.
Para penghuni rumah intelektual bernama kampus memang banyak berbicara tentang tahun politik. Entah membicarakan pemilihan presiden, ataupun membahas pemilihan legislatif. Tapi tidak hanya bicara, sejumlah mahasiswa dan mantan dosen bahkan turut serta menjadi aktor yang akan dipilih. Menjadi calon legislatif. Menjadi calon wakil rakyat.
Sejumlah calon sudah ancang-ancang, dan ada juga yang sudah start duluan. Mereka mulai memasang foto, nomor urut dan nama lengkap. Bagi mahasiswa, mereka belum bisa memakai gelar sarjana di akhir namanya, sedangkan bagi mantan dosen, punya sederet gelar sarjana, magister hingga doktor yang bakal jadi nilai tambah. Semua itu, tentu dilatari dengan warna kebesaran partai masing-masing.
Terjunnya sejumlah mahasiswa untuk menjadi wakil rakyat bukanlah hal baru. Pada zaman peralihan, ketika Ir Soekarno tidak lagi menjabat dan digantikan Soeharto, beberapa pimpinan mahasiswa juga duduk menjadi wakil rakyat. Akhir tahun 1966 pemerintahan Soeharto melaksanakan pembaharuan parlemen dan menawarkan kursi kepada pimpinan-pimpinan mahasiswa untuk duduk sebagai wakil rakyat. Mereka yang setuju pun duduk manis tanpa pemilihan langsung dari rakyat Indonesia.
Itu semua digambarkan dengan jelas oleh Soe Hok Gie dalam tulisannya yang berjudul “Setelah Tiga Tahun”. Dalam tulisan itu, Gie menyampaikan bahwa adanya tawaran tersebut membuat kelompok mahasiswa masa itu terbelah dua. Golongan mahasiswa pertama menyetujui tawaran tersebut dan ingin memanfaatkan pengaruh politik mahasiswa yang tengah besar kala itu. “Kita harus meninggalkan sekolah dan membangun Indonesia dengan dinamisme dan keberanian yang ada” kata mereka yang setuju jadi wakil rakyat seperti dikutip dalam tulisan Gie.
Sedangkan golongan kedua, yang Gie sebut lebih banyak dari golongan pertama, menolak! Gie menulis “Bagi mereka, tugas mahasiswa adalah belajar. Mahasiswa adalah ‘moral force’-bukan ‘political force’… Mereka tidak percaya bahwa mahasiswa dapat menyumbangkan tenaganya sebagai kelompok mahasiswa (karena mereka akan ditipu oleh politkus-politkus yang jauh lebih berpengalaman),” golongan ini tidak ingin nama mahasiswa dicatut dan dijadikan batu loncatan untuk jadi anggota parlemen.
“Kita akan kehilangan hak moral jika kita bergabung dengan bajingan-bajingan yang ada di parlemen,” tulis Gie.
Kini saat setelah 52 tahun berlalunya tawaran dari Soeharto itu, tampil lagi banyak pemuda dari kalangan mahasiswa untuk maju jadi wakil rakyat. Mereka tidak lagi mencatut nama mahasiswa, tapi muncul sebagai anggota masyarakat yang punya hak untuk dipilih. Mereka tidak lagi bisa duduk langsung di gedung DPR atau DPRD, tapi harus melalui tahap pemilihan. Namun kiranya pernyataan Gie masih bisa ditanyakan ke mereka: Bisakah mereka menyumbangkan tenaganya dan tidak ditipu oleh politkus-politkus yang jauh lebih berpengalaman? Bisakah mereka tidak terbawa arus sistem dan cara-cara yang rusak?
Tidak hanya mahasiswa, sejumlah dosen juga rela melepas statusnya sebagai abdi negara demi ikut bertarung menjadi wakil rakyat. Dalam tulisan lain dari Soe Hok Gie yang berjudul “Pelacuran Intelektual” mengisahkan sejumlah tenaga pengajar UI di tahun 1960-an memilih bergabung dalam lingkaran pemerintahan dan mendapat pos jabatan tertinggi di beberapa lembaga. Salah satunya ialah Rektor UI kala itu, Prof Dr Sumantri Brodjonegoro yang diangkat jadi menteri pertambangan.
Dalam tulisannya, Gie bertanya ke Prof Sumantri: mengapa ia mau menjadi menteri dan bekerja dengan bajingan minyak dan pejabat korup? Dan jawaban dari Prof Sumantri sangat bekesan ketika saya membacanya: “Kita punya dua pilihan jika kita melihat keburukan yang terjadi dalam pemerintahan. Terjun ke dalam berusaha (dan belum tentu berhasil) memperbaikinya atau tinggal di luar sambil menantikan aparat tadi ambruk? Saya memilih yang pertama dengan segala konsekuensinya.” Kata Prof Sumantri dikutip dari tulisan Gie.
Sementara sejumlah mahasiswa dan mantan dosen memilih jalan politiknya menjadi wakil rakyat. Sebagian lain dari penghuni rumah intelektual bernama kampus mengarungi jalan lain: mengadvokasi petani dan nelayan, turun ke jalan, bersolidaritas terhadap penggusuran rakyat miskin kota dan mengamalkan ilmunya secara jujur dengan tidak menerima pelicin dari pengusaha untuk sebuah hasil penelitian. Saya hormat pada mereka yang memilih jalan politik yang pertama, tapi lebih bersimpati kepada mereka yang memilih jalan kedua. Jalan yang berpihak pada orang-orang kecil.
Musthain Asbar Hamsah
Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan
Angkatan 2014