Sebuah cerita fiksi tentang orang-orang Oetimu dengan segala kepelikan dan cerita pilunya.
Buku orang-orang Oetimu meninggalkan kesan menyenangkan saat membacanya. Penulis, Felix K. Nesi, menghiasi cerita dalam novel ini dengan humor yang sedikit dewasa. Oleh sebab itu, terdapat kode 19+ pada sampul bagian belakang buku ini.
Tak hanya humor, novel etnografis tersebut dapat memberikan gambaran dan khasanah pengetahuan baru terkait kehidupan orang-orang di Oetimu, suatu wilayah di pelosok Nusa Tenggara Timur. Semisal, kecintaan mereka pada minuman sopi. Sopi merupakan minuman khas Oetimu yang dibuat dari sulingan lontar. Kekhasan itu diperlihatkan dalam penceritaan beberapa tokohnya.
Salah satu tokoh dalam cerita ini, Am Siki, diceritakan sebagai keturunan lontar. Kakek buyut, ayah, dan keluarga lainnya meninggal dengan cara yang sama yakni jatuh dari pohon lontar. Kelak, Am Siki juga mati dengan cara yang sama. Am Siki merupakan pria sebatang kara. Dia diceritakan sebagai sosok yang telaten mengumpulkan nira dan mengolahnya menjadi sopi.
Seiring cerita berjalan, karakter Am Siki berkembang menjadi sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat sekitarnya. Ia dikenal masyarakat sejak aksinya membebaskan para pekerja paksa dari tentara Jepang. Namun dibalik namanya yang masyhur, Am Siki tidak menganggap dirinya pahlawan. Tindakan melawan tentara Jepang ia lakukan semata-mata hanya untuk menyelamatkan kuda betina kesayangannya yang sering digilir dan diperkosa secara biadab oleh tentara Jepang.
“Saya membunuh bukan untuk menyelamatkan Bangsa, tetapi untuk menyelamatkan kuda saya,” tegas Am Siki pada kutipan di halaman 33.
Di sisi lain, Am Siki yang mencintai budaya orang-orang Oetimu, bersedih hati ketika orang-orang asing itu datang silih berganti. Mereka dipaksa untuk mempelajari bahasa Indonesia yang kala itu telah meraih kemerdekaan. Ya, latar waktu yang digunakan ialah saat masa penjajahan hingga Indonesia merdeka.
Lalu, di masa orde baru muncul tokoh Maria. Maria dikisahkan sebagai seorang mahasiswi aktif dalam menentang pemerintahan Presiden Soeharto pada masanya. Ia geram dengan tindakan kesewenang-wenangan para pemegang kekuasaan dan kelicikannya dalam mengambil hak rakyat. Namun, aksinya selalu gagal dan berujung hilangnya teman-teman aktivis senasib seperjuangannya. Ia juga tidak percaya dengan gereja yang hanya membahas urusan tuhan.
Maria merupakan sosok yang sangat memberontak, hal yang paling naas dalam hidupnya ketika dua orang yang dicintainya, anak dan suaminya, meninggal terlindas mobil tentara yang uring-uringan mengendarai mobil tentara. Bukannya bersimpatik, masyarakat malah menyalahkan suami dan anaknya karena menghalangi jalan para tentara. Hingga akhirnya ia putus asa dan muak terhadap hidup. Ia memutuskan menemui anak dan suaminya lebih cepat dari yang tuhan rencanakan.
Buku setebal 213 halaman ini juga menceritakan percintaan antara Silfy dan Sersan Ipi. Dua muda-mudi itu tak sengaja bertemu saat Silfy pindah ke Oetimu. Gadis jelita nan cerdas tersebut menjadi incaran hampir seluruh lelaki yang ada di Oetimu. Namun, Silfy memilih Sersan Ipi, anak lelaki yang dirawat Am Siki sejak kecil.
Mereka berencana menikah dan mengumumkan niat suci itu di depan sejumlah warga yang datang ke pos sekaligus tempat tinggal Sersan Ipi. Malam itu sedang ada nonton bareng pertandingan sepak bola dunia. Seperti biasa, orang-orang di Oetimu khususnya para pemuda akan berkumpul dan menonton bersama. Lalu, apakah mereka berdua menikah atau tidak, ya? Sila temukan jawabannya di novel yang berhasil menjadi pemenang 1 sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2018.
Kelebihan buku ini terletak pada cara penulis bercerita dengan gaya bahasa yang santai. Sehingga pembaca dapat mengikuti kisah dan alur cerita yang disampaikan. Buku ini cocok bagi kamu yang bosan dengan penceritaan yang pusatnya di Jawa atau Jakarta alias Jawasentris. Karya fiksi ini dapat mengantarkan mu ke sudut pandang lain kisah kebudayaan, manusia, dan segala kisah tragisnya. Selamat membaca!
Badaria