Penghematan air bersih menjadi salah satu upaya Unhas untuk menerapkan Green and Clean Campus (GCC). Cara yang bisa dilakukan untuk mewujudkan itu dengan melakukan inovasi teknologi, misal membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Kampus sebagai tempat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kemandirian energi terkhusus air menjadi kebutuhan di masa akan datang. Alasan itu jugalah yang membuat Unhas menuliskan hemat air dalam Buku Rencana Pengembangan tahun 2015-2030 tentang mewujudkan kampus modern dan ramah lingkungan.
Berdasarkan data yang diperoleh Litbang Data PK identitas, Unhas memiliki tiga sumber air, di antaranya PDAM, sumur bor, dan galian Unhas yang berjumlah sekitar 40 unit, serta danau Unhas. Presentasinya masing-masing 35%, 15% dan 50%.
“Untuk penanganan penghematan energi air, saat ini Unhas sementara mendata air baku danau Unhas. Kampus menargetkan tidak mengambil air dari PDAM lagi, dan bisa kelola air sendiri,” ujar Dr Ir Ahmad Yusran Aminy MT, Kepala UPT Pengelola Prasarana dan Utilitas Unhas, Kamis (1/11).
Air danau Unhas sebagai sumber air bersih memang masih menuai perdebatan, layak tidaknya. Mahasiswa Teknik Sipil, Tutut Hardiyanti dalam penelitiannya mengungkapkan, mutu air danau Unhas termasuk pada kategori air baku Kelas III. Artinya, airnya tercemar sedang dan peruntukannya hanya untuk prasarana rekreasi air, budidaya ikan air tawar, peternakan air, dan untuk mengairi tanaman.
Hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 2015 itu pun seirama dengan pendapat Kepala Puslitbang Lingkungan Hidup, Prof Dr Rer Nat Ir A M Imran. Ia mengatakan, air yang bersumber dari danau Unhas belum dapat digunakan secara menyeluruh. Minimal hanya digunakan untuk membersihkan atau menyiram tanaman di Unhas.
Oleh karena itu, lanjut Imran, kendala yang dihadapi dalam menjadikan danau Unhas sebagai sumber air bersih ialah kurangnya penelitian lebih lanjut yang mengkaji tentang kuantitas dan kualitas air. Gunanya, mengetahui kelayakan air sebagai sumber air baku.
“Paling tidak harus ada penelitian yang multidisiplin untuk mengetahui kandungan limbah danau. Jika berkaitan dengan ekologi, dibutuhkan pendekatan multidisiplin dari bidang ilmu kimia, biologi, ilmu sipil untuk mengelolanya, serta dari ilmu sosial pun turut andil,” katanya, Rabu (31/10).
Menanggapi soal pengelolaan air danau Unhas, ketua Departemen Kimia, Dr Abdul Karim, M Si mengandaikan bila air danau Unhas itu tercemar logam. Menurutnya, air danau harus melalui proses pengendapan. Bila hanya penyulingan, logamnya akan tetap lolos.
“Untuk dapat digunakan harus melalui pengelolaan yang bertahap yakni penjernihan dan bebas bakteriologi,” terangnya saat ditemui di ruangannya, Kamis (1/11).
Satu hal yang juga tampaknya menjadi air danau Unhas belum bisa dipercaya untuk layak dikonsumsi ialah letaknya berdekatan dengan RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo. Banyak orang menganggap, danau Unhas tercemar oleh rumah sakit itu.
Pernyataan itu dibantah oleh Yusran. Ia menanggapi, limbah rumah sakit memiliki jalurnya sendiri. “Limbah RS itu di-treatment dan langsung ke pembuangan, sehingga limbah tidak mengalir ke danau,” terangnya kepada reporter Identitas melalui wawancara via Whatshapp.
Berbicara ihwal limbah, laboratorium bisa dikatakan juga penghasil limbah, baik padat, cair, maupun gas. Di antara tiga jenis itu, limbah cairlah yang lebih berbahaya dibandingkan keduanya.
Penjelasannya, limbah padat di laboratorium relatif kecil, biasanya berupa endapan atau kertas saring terpakai, sehingga masih dapat diatasi. Demikian pula limbah yang berupa gas, umumnya dalam jumlah kecil, sehingga relatif masih aman untuk dibuang langsung di udara. Tetapi berbeda dengan limbah cair, bila meresap ke dalam air dan tanah dapat membahayakan lingkungan sekitar.
“Di kampus ini kan ada lab kimia, kalau dibuang saja, artinya tidak clean. Paling tidak limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan atau air tanah,” ujar Prof Imran.
Limbah yang berbahaya, dan atau beracun dengan sifatnya dapat mencemari bahkan merusak lingkungan disebut Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Cara untuk mengolah limbah jenis ini perlu alat yang familiar dengan nama Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
Namun, Unhas yang tidak lepas dari limbah laboratorium yang sifatnya B3 malah tidak memiliki IPAL hingga sekarang. Penelitian yang dilakukan oleh A Fiar Malayadi pada tahun 2017 menyatakan, empat fakultas di Unhas tidak melakukan sistem pengelolaan limbah B3 dengan baik. Atau tidak lengkap dalam melakukan sistem pengelolaan limbah. Di antaranya, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Farmasi, MIPA, dan Fakultas Kedokteran.
Menanggapi hal tersebut, Abdul Karim menyayangkan Unhas belum sanggup menyediakannya IPAL dikarenakan terkendala anggaran. Menurutnya, seluruh kampus wajib mengelola limbah yang berasal dari laboratorium.
“Kalau tidak ada IPAL, limbah akan tetap mencemari lingkungan. Dampaknya itu besar karena limbah mencemari tanah, dan air permukaan. Selain itu, air tanah itu juga bisa mencemari sumur-sumur yang berada di sekitarnya,” jelasnya.
Selain ihwal menghindari pencemaran lingkungan, adanya IPAL juga bisa menjadi upaya Unhas untuk mewujudkan Unhas mandiri air. Limbah cair yang mulanya tidak layak konsumsi bisa diolah di alat ini menjadi air bersih.
Bila menginginkan kampus ramah lingkungan, mestinya fasilitas penunjang seperti IPAL disediakan. Sehingga, kampus hijau bukan hanya menjadi konsep semata, tapi juga bisa terealisasi optimal. Lingkungan yang tercemar, harusnya tidak terdengar di lingkungan yang telah terdidik, dan paham akan sebab akibatnya.
Reporter: Nurmala