Bukankah cinta memang selalu hadir dengan banyak cara? Seperti caraku menemukanmu.
“Jangan kau kira cinta akan hadir dengan lamanya kau habiskan waktu bersama, ratusan bahkan ribuan tahun kau tak akan merasakannya. Sebab cinta itu hadir karena kecocokan jiwa” (Kahlil Gibran)
***
Siang itu tepat saat kita sama-sama sibuk dalam perkara tugas kuliah. Aku masih ingat kau yang berjilbab coklat susu manis sekali. Beberapa pekan terakhir aku baru tau itu namanya jilbab pashmina. Aku tidak sengaja mendengar cerita mahasiswi yang sedang membicarakan gadis populer di kampus. Katanya ia terlihat cantik dengan gaya jilbab pashmina-nya. Aku melirik orang yang sedang mereka bicarakan. Diam-diam memperhatikannya. Mirip dengan jilbab yang kau kenakan waktu itu. Hanya saja punyamu ukurannya lebih lebar. Aku kemudian tersenyum menunduk menyembunyikan kebahagiaan kecil di wajahku.
Kau tampak sibuk dengan komputer milikmu. Sesekali tersenyum dengan orang-orang di sekitarmu. Tapi selalu saja mengabaikanku. Mungkin karena kita belum saling kenal. Hanya saja belum takdirku untuk satu kelompok denganmu dalam tugas praktikum dasar.
Aku dengan sifat dinginku, diam-diam mengamati caramu bicara. Kau menjelaskan berbagai hal, termasuk caramu menatap setiap orang di hadapanmu. Hingga tiba saatnya kau menyebut namaku dengan bagian tugas yang harus kuselesaikan. Aku mengiyakan saja tanpa tau apa yang kau sedang bicarakan.
Pada akhirnya kita banyak bertemu dalam berbagai mata kuliah. Tidak ada yang istimewa. Kita hanya berteman seperti yang orang lain lakukan. Aku juga mempunyai kekasih tapi entah kenapa aku lebih memilihmu.
Beberapa waktu, aku pernah berjanji untuk mengajakmu makan bersama pada pukul sembilan malam.Namun kau hanya mengatakan ini sudah malam, sehingga tak bisa memenuhi ajakanku. Aku sengaja memberimu pilihan bahwa kau tak menghargai temanmu yang akan menepati janji. Dan akhirnya kau memilih datang. Aku menunggumu lumayan lama. Ah tidak mengapa, tak peduli berapa lama pun asal itu denganmu.
Aku menawarkan agar kau kujemput saja. Tapi kau lagi-lagi menolakku dengan alasan yang tak bisa kupahami dalam logikaku. Kau membuatku tercengang, kau datang tak seorang diri. Kau memang selalu begitu, meski aku tak berharap begitu. Sederhana tapi kau tetap saja keras kepala atas alasanmu itu. Berteman denganmu sudah hampir empat tahun. Kendati, sekalipun kau tak pernah mau dibonceng denganku. Lebih tepatnya kau tak pernah boncengan dengan lawan jenismu. Mungkin alasan ini yang membuatku jatuh cinta pada akhirnya.
***
Aku sangat lelah. Setelah urusanku di bidang kemahasiswaan juga laporan penelitian yang hendak aku selesaikan. Sekarang aku duduk di perpustakaan bersamamu.
Aku ingin pulang. Begitu katamu. Belum 5 menit juga, batinku. “Kau mau mengantarku? “ tanyaku. Keadaan menjadi bungkam. Aku lalu melanjutkan pembicaraanku untuk mencairkan suasana “Maksudku aku yang akan membawa motormu. Percayalah ini terakhir kalinya aku meminta,” kataku sambil membujuk.
“Tidak. Tidak akan pernah,”katamu. Baiklah aku mengalah. Kita berpisah dan aku akan menyelesaikan tugasku yang belum selesai di laboratorium. Kenapa susah sekali untuk menaklukkan hatimu, bisikku pada diriku. Bahkan kita akan ke tempat tujuan yang sama, fakultas. Dan kau memilih untuk tidak boncengan. Aku mendengus.
“Bi, antar dong. oke?” rujukku sambil menyodorkan kunci motor miliknya.
“Hei kau memberiku kunci motorku, lalu motornya mana?” katamu.
“Motorku banyak kembarannya. Aku tak hafal platnya. Jadi antarkan aku saja ke motorku,” Katamu yang tak berperasaan.
“Bi, ayolah. Aku sangat capek. Dan kau sengaja menyuruhku jalan dan tetap tidak ingin memboncengku. Aku punya mantel. Kau bisa memboncengku dengan menutup kelapaku. Aku juga tak bernafsu apapun padamu. Sumpah. Aku tak akan jatuh cinta padamu. Jadi tidak akan ada setan di antara kita. Seperti katamu. Ayolah pliis,” aku memohon.
“Tidak. Aku punya ide,” Jawabmu singkat. Lima menit, tujuh menit hingga sepuluh menit. Kau berdiri di pinggir jalan melihat kekanan dan kekiri.
“Apa idemu?” tanyaku. Aku akan mencari pengendara lewat, agar bisa memberikan tumpangan pada temanku yang lemah ini, ucapmu tanpa merasa bersalah.
“Astaga, lupakan. Kau membuatku malu,. Kataku sambil berlalu.
Aku tak habis pikir dengan pemikiranmu yang rumit itu. Alasanmu sangat banyak jika itu tentang mengajakmu jalan, boncengan, atau bahkan hanya duduk berdua untuk makan siang. Hari ini entah kenapa kau dengan baik hati meminjamkan motormu, karena adikku sedang memakai motorku. Dan kita bertemu di perpustakaan. Aku berharap bisa duduk lama denganmu. Karena kau temanku.
“Aku menyukaimu. Serius”, kataku suatu hari.
Namun kau hanya tertawa, “Wooi… kau pernah bilang tak bernafsu denganku. Tidak akan jatuh cinta padaku. Dan aku tak pernah menyukaimu sedikit pun selain sebagai teman,” katamu, mengingatkan titahku saban hari.
Kau berbalik dan terus berjalan memunggungiku. Perlahan tenggelam dalam mataku seperti senja yang hendak pulang pada malam. Esok, aku tak tahu seperti apa akhir ceritaku; menemukanmu.
^^^
Aku pamit untuk kembali. Percayalah!
Penulis : Inna Sannuga
Mahasiswa Jurusan Sastra Asia Barat,
Fakultas Ilmu Budaya Unhas,
Angkatan 2014.