Bertepatan pada tanggal 10 September 1956 Pak Tua di lahirkan di sebuah kota yang konon menjadi salah satu pusat perdagangan jalur maritim pada masa pemerintahan Belanda. Ujung Pandang, nama kota itu. Pak tua lahir bukan tanpa alasan. Ia lahir bukan tanpa tujuan. Bukan tanpa tanggung jawab. Semata-mata ia lahir karena sebuah tugas suci untuk memajukan bangsanya.
Sejak awal kelahirannya pak tua itu bertempat tinggal melakukan tugas sucinya, di sebuah bangunan kecil, tak megah, tak sebesar tempat tinggalnya yang sekarang ini. Baraya merupakan tempat awalnya menunaikan tugas suci sebagai bentuk kecintaaan terhadap tanah airnya.
Jas merah, seperti darah. Membara dan penuh semangat menjadi ciri khas pak tua sejak dulu. Karena keberaniaan dan semangat yang berapi-api ia tak takut untuk berperang melawan kebodohan. Ia tak ingin tubuh bangsanya dengan kekayaan alam, keberagaman budaya, cucu-cucunya kelak menikmati kekejaman rezim. Diperkosa ketidaktahuan, haknya di renggut secara semena-mena layaknya perempuan yang di paksa memberikan harga dirinya.
Pak tua selalu tampil gagah dengan mengenakan jas merah itu. Memakai nama salah seorang Pahlawan gagah berani, Sultan Hasanuddin. Konon nama pak tua diambil dari nama pahlawan yang disegani di masa VOC. Karena keberaniannya, Sultan Hasanuddin dijuluki sebagai “Ayam jantan dari Timur”. Hal yang semestinya dibanggakan oleh Pak tua, bisa memakai nama pahlawan yang tegas, gagah, nun berani itu.
Setiap tahunnya cucu pak tua itu berkunjung menemuinya. Seragam putih hitam menjadi tanda kepolosan bagi cucu-cucunya. Di lain sisi Pak Tua menyambut mereka dengan pakaian khasnya, Jas Merah. Konon cucu-cucu Pak tua yang lebih dulu berkunjung dan berkecimpung di rumahnya, memiliki ekspresi yang berbeda menyambut adik-adiknya. Alis berkerut, mata yang tajam, celana yang sengaja dirobeknya, layaknya preman dalam tampilan luarnya. Dan sesekali adik-adik mereka mendapat perlakuan khusus, layaknya seorang serdadu. Agar fisik dan mentalnya kuat melawan rezim yang penuh ketidakadilan, Kata cucu Pak tua yang lebih dulu masuk.
Memerdekakan hak untuk berekspresi, menambah kapasitas pengetahuan, mempertajam pola pikir, dan memperbaiki prilaku adalah bentuk perlakuan yang semestinya dan seterusnya harus dipertahankan Pak tua. Sebagai bentuk kasih sayangnya kepada cucu-cucunya. Dengan itu, pak tua tak akan lupa akan kehadirannya di dunia.
Sekarang ini Pak tua bermetamorfosa untuk kualitas dirinnya. Yang dulunya ia tidak sedikit egois dengan mengahargai peran bangsanya dalam memajukan pendidikan dengan menerima subsidi dari pemerintah. Sebagaimana amanat dari UUD Pasal 31 ayat 4. Yang menjadi acuan tata kelola keuangan di sektor Pendidikan.
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendidikan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan peyelenggaraan pendidikan nasional”.
dan pak tua memilih untuk berbadan hukum. Entah ini adalah sebuah kemajuan atau kemunduran dirinya. Yang pasti adalah Pak tua yang dulunya dengan senang hati menyambut cucu mereka tanpa melihat latar belakang ekonomi dan strata sosial, murni karena kualiatas dirinya yang memupuni. Tahun ini kita meliahat Pak tua dengan tampilan yang berbeda. Nampaknya ia lebih memilih-milih dari yang sebelum-sebelumnya. Kualitas diri cucunya tetap menjadi prioritas penting, setelah uang. Dan uang.
Terlihat cucu bungsunya yang mengendarai kendaraan bermerek “JNS” ( jalur non subsidi ). nampaknya sedikit resah dengan sikap kakeknya yang telah tua itu. ribuan telah menyapa dengan beberapa syarat yg harus dipenuhinya. Mulai dari biaya pendaftaran yang harus di bayarnya sebanyak Rp. 750.000; sebagai syarat utama untuk mengikuti selesksi. dan setelah dinyatakan lulus, selain syarat yang bersifat administratif juga harus membayar puluhan juta rupiah dengan nominal yang berbeda-beda, berkisar 30-100 juta rupiah, menyesuaikan dengan Fakultas masing-masing. Katanya “untuk pengembangan”.
Di umur yang tidak mudah lagi Pak tua sudah merasa dirinya sangat dewasa. Merasa mampu membangun rumahnya sendiri, dangan keberaniannya mengubah kualitas dirinya. Sebut saja PTN-BH ( Perguruan tinggi berbadan hukum). Satu hal yang harus diingat Pak Tua bahwa dirinya mulai pelupa. Melupakan jati dirinya dan tugas suci yang dibebankan. Mencerdaskan cucu-cucunya tanpa melihat, kasta dan ekonomi. Tidak hanya kepada cucunya yang bungsu, pak tua juga melupakan perannya kepada cucunya yang sulung ( lebih dulu masuk). Ia seakan tidak menganggap kemerdekaaan berpendapat dan hak untuk berekspresi menjadi tugas penting dirinya. Kebalikannya ia mencoba mengkerdilkan hak-hak itu dengan beberapa kebijakan, pasal, dan aturan yang menjadi senjatanya.
Semoga sehat selalu Pak Tua, sehat fisik juga Akalmu. Dan semoga tidak pelupa lagi. Kami sebagai cucumu akan selalu mengingatkanmu. Ekspresi kami buakanlah bentuk perlawanan atas dirimu, melainkan kecintaan kami terhadapmu yang sudah mulai menua. sebagaimana hidup adalah untuk saling mengingatkan.
Penulis : Agung Raka Pratama
Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Perikanan Unhas,
Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan,
Angkatan 2014