Kata pengaderan seringkali diidentikkan dengan Mahasiswa Baru (Maba). Kader berasal dari bahasa Yunani, cadre, yang berarti bingkai. Secara terminologi, kader merupakan subyek yang termasuk dalam suatu organisasi, bertugas mewujudkan visi-misi organisasi tersebut.
Bagi sebagian mahasiswa, menganggap pengaderan sebagai momok yang menyeramkan. Seringkali terjadi perpeloncoan antar senior ke juniornya, serta aksi kekerasan lainnya. Beredarnya konotasi negatif tentang pengaderan, sehingga berpengaruh pada minat sebagian Maba untuk tidak mengikuti prosesi pengaderan.
Seperti yang diutarakan A Saskia Khaerunnisa, Mahasiswa Departemen Ilmu Hukum yang menghindari pengaderan karena mendengar cerita yang tidak baik dari pengaderan tersebut. “Saya pernah mendengar cerita negatif tentang pengaderan, makanya saya berpikir untuk mundur saja,” ujarnya saat diwawancarai via WhatsApp. Rabu (01/08).
Senada dengan Nur Asmi Yuningsi, Mahasiswa Departemen Sastra Inggris yang juga tidak berminat mengikuti prosesi pengaderan.
Begitu pun halnya dengan, Nur Asmi Yuningsi, Mahasiswa Departemen Sastra Inggris. Meskipun ia mengetahui tujuan dari didikan senior yang keras untuk menguatkan mentalnya, namun ia tetap kurang sepakat dengan cara seniornya tersebut. Menurutnya, Senior kadang kali menyuruh hal-hal yang tidak begitu urgen, seperti menyuruh si junior untuk mengenakan pita. “It’s no good,” katanya saat diwawancarai. Selasa (31/07).
Berbeda dengan Nurlatifah Amu, Mahasiswa Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan. Menurutnya tak ada perpeloncoan yang didapatkannya selama mengikuti pengaderan. Ia juga merasa pengaderan cukup penting dalam membangun solidaritas dan kekeluargaan.
“Ada warna tersendiri yang diperoleh dari pengaderan. Kita bisa membangun semangat kekeluargaan, solidaritas, dan kerjasama, serta tanggung jawab,” Katanya saat ditemuinya di Koridor Gedung LT 8.
Tak hanya itu, mahasiswa yang akrab disapa Tifa ini merasa senang mengikuti pengaderan karena adanya kajian materi yang bersentuhan langsung dengan disiplin ilmunya. “Walaupun awalnya hanya ikut-ikutan saja sama teman, namun setelah mengikuti prosesinya selama dua minggu, saya merasa tertarik mengikuti kegiatan pengaderan,” tambahnya lagi.
Sama halnya yang dirasakan Fira, Mahasiswa Departemen Kimia saat mengikuti pengaderan. Ia menjelaskan bahwa ilmu yang diajarkan seniornya saat pengaderan, tidak akan ditemui di bangku perkuliahan.
“Kalau kita kuliah, yang dipelajari itu hanya materi-materi perkuliahan saja. Sedangkan, kalau ikut ki pengaderan, kita bisa tahu berorganisasi dan bermasyarkat,” Katanya, Rabu (01/08).
Setali tiga uang dengan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH), Didi Muslim Sekutu menganggap pengaderan sebagai hal yang penting dalam suatu organisasi untuk menciptakan kader-kader.
“Dalam sebuah organisasi dibutuhkan kader untuk regenerasi untuk mencapai visi-misi suatu organisasi itu,” katanya saat ditemui. Selasa (31/07).
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keperawatan, Abdul Gani Bas, mengungkapkan bahwa untuk menghilangkan stigma tentang pengaderan pada Maba, perlu diterapkan sistem kekeluargaan yang dibina antar sesama.
“Saya tidak setuju dengan pengaderan yang menjurus pada perpeloncoan. Di masa sekarang ini, kekerasan tidak perlu diterapkan lagi dalam pengaderan,” katanya. Jumat (03/08).
Prof Dr drg A. Arsunan Arsin Mkes, Wakil Rektor III Unhas juga angkat bicara tentang urgensi dari penaderan. Menurutnya, organisasi kemahasiswaan tetap penting melakukan kaderisasi, dengan mengedepankan sisi penalaran, kepemimpinan, dan semacamnya.
“Kaderisasi bukan lagi kekerasan dalam membina mental yang keterlaluan, melainkan lebih kepada sisi penalaran, dan kepemimpinan,” Tuturnya saat ditemui di Lantai Dua Rektorat Unhas, Rabu (8/8).
Hasil jajak pendapat soal urgensi pengaderan
Metode Penelitian
Jajak pendapat dilakukan dengan dua cara yaitu menyebarkan kuesioner dengan mendatangi langsung responden dan melalui google formulir. Penelitian ini dilaksanakan litbang data identitas pada 1-8 Agustus 2018. Jumlah responden ialah 406 mahasiswa aktif yang dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan otomatis dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Meski demikian, kesalahan di luar pencuplikan dimungkinkan terjadi. Hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh mahasiswa Unhas.
Penulis: Fitri Ramadhani