Kita harus rela membuang kehidupan yang telah kita rencanakan, demi memiliki kehidupan yang menanti kita – Joseph Campbell dalam novel berjudul Origin, karya Dan Brown.
Kelompok Pemberdayaan Perempuan yang dikenal dengan Rural Women Empowerment (RWE) ini berawal dari kegiatan sosial bertema “Sebulan Mengabdi di Pedalaman (SBMP)” Kelompok ini diusung oleh Komunitas 1000 Guru Sulsel. Melalui kegiatan sosial tersebut, saya akhirnya berkesempatan mengunjungi masyarakat Dusun Bahonlangi di Kabupaten Bone.
Hari itu, Jumat. Setelah adzan shalat ashar dikumandangkan, saya, Kak Darma, Kak Ros, Kak Mita, dan Kak Subhan berangkat dari Kota Makassar menuju Kota Malino. Pertemuan ini menjadi perkenalan pertama kami.
Setengah perjalanan, kami istirahat sejenak di rumah Mama Leli. Tempatnya di Kecamatan Erelembang. Senja mulai nampak. Medan perjalanan ke pegunungan tidak memungkinkan untuk kami tempuh di malam hari. Sehingga kami memutuskan untuk menginap saja di rumah Mama Leli.
Rumah Mama Leli memang sudah sering menjadi tempat persinggahan para relawan RWE. Di sini, kami makan malam bersama sembari ditemani cuaca yang sangat dingin. Saking dinginnya, setiap kali berbicara, mulut kami mengeluarkan asap. Menjelang tidur, kami membalut diri dengan selimut tebal, juga berimpitan untuk menghangatkan badan.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami terlebih dahulu shalat subuh. Lalu sarapan, dan menghabiskan teh hangat yang disuguhkan Mama Leli. Setelah semuanya sudah siap, kami akhirnya melanjutkan perjalanan.
Kendaraan yang kami tumpangi melaju, dengan membawa beberapa hadiah perlombaan untuk ibu-ibu dan anak-anak di Dusun Bahonlangi. Setelah menghabiskan perjalanan cukup lama, kami akhirnya tiba juga.
Kami memarkir kendaraan di ujung jalan, di Kampung Erelembang. lalu berjalan melalui pendakian curam menuju Gunung Bahonlangi. Bahonlangi adalah nama sebuah gunung yang kemudian diambil menjadi nama dusun di sana. Warga lebih mengenalnya dengan sebutan Dusun Lapparia, sehingga Bahasa asli warga di sana juga disebut Bahasa Lapparia.
Seratus meter ke depan, kami disambut tanah lapang. Tak ada aspal maupun jalanan butas, yang ada hanyalah pepohonan dan jalanan berlumpur. Kami juga melewati jalanan berkerikil, dan anak sungai. Kami rihat sejenak, lalu melanjutkan kembali perjalanan.
Naik Turun Lewati Lembah, menjadi lagu yang mengiringi perjalanan kami. Kami bertambah semangat dengan papan tulis dan kompor gas yang kami bawa. Kami ingin segera tiba untuk bertemu, berbagi pengetahuan, serta kreatifitas bersama warga Bahonlangi.
Setelah melewati delapan sungai, hutan pinus, dan jalanan berlumpur, kami berjalan lagi. Di depan sana terlihat warga melambaikan tangan kepada Kak Darma “Halo Kak Darma, singgah di rumah,” ajaknya. Kak Darma membalas dengan bahasa khasnya “Iye Daeng, saya lanjutklan dulu ke rumah Daeng Anti, saya tunggu ki di sana, sama-sama belajar,” balasnya.
Kami terheran melihat Kak Darma yang begitu akrab dengan warga setempat. Mungkin karena kunjungan rutin bulanannya, sehingga hubungan itu terjalin baik. Bahonlangi seperti keluarga dan rumah tempat kami pulang.
Dua desa telah terlewati, penuh keakraban dan keceriaan. Kami melanjutkan perjalanan lagi. Hingga tibalah kami di depan rumah kayu bercat hijau. Seorang ibu keluar dari rumah bercat hijau itu.”Mamak!” sapa kak Darma, setelah melihat ibu itu. Kami akhirnya dipersilakan masuk.
Lima menit telah kami habiskan dengan mengobrol bersama Mamak dan Daeng Anti. Kudengar sebentar lagi akan ada kujungan dari Camat Bonto Cani. Sang camat baru akan berkunjung setelah sekian lama bejanji. Entah mimpi apa ia semalam. Hehe
Hari itu kami langsung memulai kelas. Ada tiga kelompok, masing-masing terdiri 6-7 orang ibu-ibu, juga perwakilan seorang guru dari tim RWE. Dua Kelompok asyik dengan materi pengembangan pembuatan kalimat dan elaborasi kata. Dan satu kelompok lagi masih belajar mengeja huruf A,B,C,D, E hingga Z. Setelah belajar, kami melakukan penyerahan kompor gas secara simbolik. Kompor gas itu merupakan hasil penjualan prakarya ibu-ibu Bahonlangi bulan lalu, dan akan dimanfaatkan sebagai alat pembuatan kerupuk ubi dan talas, yang juga hasil tanam warga Bahonlangi. Selain itu, juga akan dilakukan pengolahan beras merah unggulan organik.
Setelah itu, kita membahas bagaimana pengolahan, pengemasan, dan penjualan beras merah organik yang memiliki rasa segar dan nikmat. Hasil unggulan beras merah setelah dikemas akan dijual dengan harga 32 ribu per kilogramnya. Penjualan ini dilaukan di kota. Harapan besar kami membuat program ini, agar ibu-ibu bisa produktif serta meningkatkan perekonomian keluarga.
Harapan besar tim RWE dan Komunitas 1000 Guru Sulsel untuk memajukan Dusun Bahonlangi, melalui pendidikan yang bisa mengubah pola pikir masyarakat, kreatifitas yang dapat membantu perekonomian keluarga, serta keadilan hak yang seharusnya diperoleh dari aset pemerintah untuk dimanfaatkan warga. Tujuan mulia itu yang kami harapkan bisa terakomodir dengan baik. Upaya yang dilakukan adalah konsistensi dengan semangat tim RWE, diiringi niat dan doa yang baik.
Pendampingan masyarakat untuk mendapatkan haknya merupakan tanggungjawab moril orang-orang berpengetahuan serta sesame manusia. Kesadaran itu penting, dan konsistensi untuk mewujudkan itu pun paling utama. Terkhusus rendahnya perhatian pemerintah di dusun-dusun pedalaman, kiranya menjadi refleksi penyadaran untuk penggunaan anggaran yang seharusnya menjadi hak masyarakat desa.
Semoga beberapa paragraf ini dapat menjadi refleksi untuk Camat Bahonlangi dan teman-teman pembaca sekalian. Jika kau ingin beristirahat, ke Bahonlangi lah. Jika kau ingin bermanfaat, ke Bahonlangi lah. Jika kau ingin rumah, ke Bahonlangi lah. Banyak-banyak lah menyadarkan pikiran dan hati kita. Pesan seorang Aristoteles “Education the mind without educating the heart is no education at all”.
Penulis : Nisrina Atikah Hasdar,
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Unhas,
Volunteer RWE, 1000 GURU SULSEL.