Tidak ada kelompok yang tidak memiliki ruang dalam kehidupan ini sepanjang pada porsi dan kemampuan yang dimiliki masing-masing.
Itulah prinsip yang dipegang oleh dosen Antropologi Unhas, Tasrifin Tahara yang mendorongnya menjadi konsultan pejabat yang dekat dengan masyarakat kecil. Selain menjabat sebagai dosen dan penulis buku, ia punya mindset menfokuskan penelitian pada kelompok-kelompok terpinggirkan, dan termarginalkan oleh struktur yang besar atau kelompok-kelompok mayoritas. Ia berpendapat bahwa selain sebagai peneliti, Ia punya tanggung jawab memberi ruang kepada kelompok-kelompok kecil tersebut.
“Kerja-kerja kecil yang selama ini orang tidak mampu lihat, tapi sebenarnya efeknya begitu besar. Kalau kita bekerja, harus didasari oleh sebuah ketulusan. Sebagai antropolog, prinsip-prinsip yang namanya kemanusiaan harus selalu dikedepankan,” katanya.
Terkait pekerjaan sebagai konsultan pejabat, selain bergelut pada studi Antropologi Politik dan Kekuasaan, Ia juga harus punya bekal kemampuan untuk meneliti. Menurutnya, kalau tulisan kita disertakan oleh data maka kita akan mampu melihat bagaimana sebuah fenomena sebagai sebuah proses rekonstruksi, konstruksi ataupun reproduksi dari hubungan-hubungan antara manusia sebagai aktor politik.
Dalam bekerja, ia selalu mengikut dengan visi misi yang ia pegang daripada mengikuti pejabat yang selalu jalan sesuai dengan arah yang mereka inginkan. Ia mencoba menyinkronkan kebijakan-kebijakan yang ada pada visi misi sejak mereka menjadi calon maupun saat mereka sedang menjabat sebagai bupati, walikota, ataupun gubernur dan setelah itu mencoba untuk meramu keadaan pada 5 tahun yang akan datang.
“Di berbagai fenomena, kapasitas saya hanya dalam konteks sosial budaya, tidak seperti orang lain. Kita harus sadar, bahwa kita sebagai orang akademik, kita bekerja dalam koridor keilmuan kita. Sekecil apapun keahlian anda, yang penting anda fokus mendalam dan profesional, pasti diterima oleh semua kalangan,” tuturnya.
Hal yang ia lakukan ini tentu saja berdampak positif, khususnya terhadap masyarakat kecil yang menjadi sasarannya. Misalnya saja, mereka menjadi lebih percaya diri, merasa hak-hak dan ruang-ruang dalam ekspresi kebudayaan yang mereka miliki sama dengan kelompok lain, tidak lagi menjadi minder saat berinteraksi dengan orang karena ia berusaha meyakinkan pada prinsipnya, semua yang hidup di permukaan bumi ini memiliki posisi yang sama.
Menurut pria kelahiran Malai, 23 Agustus 1975 ini, penghargaan tertinggi baginya adalah ketika Ia memiliki ruang untuk memasuki pada arena dimana ia harus memanusiakan orang hingga mereka menaruh banyak empati terhadapnya. Menurutnya, tidak ada kelompok manapun yang tidak memiliki ruang dalam kehidupan ini. Semua diberi ruang pada porsi dan kemampuannya masing-masing.
“Selalu saja ada orang yang tertarik, menganggap saya sebagai orang yang kredibel dan kompeten untuk menjawab masalah-masalah, bagi saya itu prestasi yang luar biasa. Masa sih, kita sebagai seorang akademisi yang mengetahui hal itu kita tidak bisa meringankan mereka agar mereka menjadi manusia yang seperti definisi orang-orang kebanyakan,” katanya.
Dalam menggeluti pekerjaannya, Ia juga tak luput dari sejumlah kendala. Kendalanya yang ia hadapi, yakni lokasi yang terbilang jauh untuk menjangkau masyarakat sasarannya dan juga banyaknya orang yang tidak menaruh simpati terhadapnya. Walau demikian, ia tetap berusaha bergerak untuk menjadi bagian dari masyarakat sasarannya walau ia berbeda agama dan suku dari mereka.
Dalam menghadapi kendala-kendala itu, yang Ia lakukan yakni tetap memegang keyakinan bahwa sepanjang niat kita lurus dan baik, Allah akan selalu bersama kita. “Saya sebagai peneliti, kalau kita di antropologi, orang yang tidak terlalu banyak menuntut dengan kondisi kita terhadap orang yang kita teliti. Kita tetap berkeyakinan, sepanjang niat kita lurus dan baik, Allah itu selalu bersama kita,” ujarnya.
Dengan pekerjaan konsultan pejabat yang Ia jalani saat ini, Ia berharap agar semakin banyak memperoleh relasi hingga tak ada lagi perbedaan dalam ruang-ruang ekspresi kebudayaan. Tak ada lagi stigma atau perbedaan, tidak ada lagi kelompok-kelompok termarginalkan. Semuanya memiliki hak dan posisi yang sama sepanjang masing-masing bekerja pada porsi status dan peran yang telah diperoleh.
“Bagi saya, mau posisi atau jabatan apa pun, itu adalah konsekuensi dari apa yang kita sudah lakukan hari ini. Makanya, di agama kita diajarkan bahwa Tuhan tidak buta terhadap apa yang kita lakukan. Jadi, bekerja sebaik-baik saja, tidak usah pedulikan walaupun itu pekerjaan bagi orang kita memerhatikan orang kecil, ternyata efeknya besar,” pungkasnya.
Melika Nur Jihan