Siang itu tenang. Cuacanya teduh dan suasana sekitarnya damai, namun pikiran Danu tidak karuan. Gerutuan kecil keluar dari mulutnya, mengumpati Yanto yang memilih melakukan ‘jelajah siang’ bersama anak-anak lainnya dan membuatnya harus berjalan pulang sendirian. Danu bukan anak penakut, ia suka menikmati segala keteduhan yang ia lewati seorang diri. Namun, beberapa hari ini perjalanan pulangnya tidak setenang biasanya.
Dugaannya berkata bahwa ia telah berpapasan dengan sesosok hantu.
Rasa was-was muncul ketika jembatan kayu yang menghubungkan dua desa utama mulai terlihat. Sesampainya Danu di ujung jembatan, batinnya berteriak padanya untuk menengok ke bawah sana.
Oh, itu dia.
Di sana di pinggir sungai, seorang anak laki-laki berpakaian abu-abu kusam sedang mencelupkan tangan kanannya ke dalam air, lalu menariknya kembali dan terdiam. Mulutnya komat-kamit, matanya terpaku pada air sungai. Danu tidak tahu apa yang anak itu lakukan, tapi ia bergidik.
Siapapun yang melihatnya pasti akan parno juga, kan?
Danu berniat untuk menegurnya. Supaya dia berhenti komat-kamit. Tetapi ia takut kalau anak itu hantu sungguhan.
Anak itu sepertinya menyadari sedang diawasi karena detik berikutnya, ia menoleh ke arah Danu dan Danu langsung berlari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Ia bahkan belum sempat melihat jelas wajah anak itu.
Dasar pecundang.
***
“Ah, anak itu? Dia aneh. Aldo bilang anak itu ingin memanggil sesuatu dari dalam sungai, tapi sepertinya mantranya kurang ampuh karena makhluk itu tidak muncul-muncul.” Yanto menjelaskan dengan lagak serius. Danu merasakan dirinya merinding tapi tidak ingin menunjukkannya dengan jelas.
“Makhluk? Makhluk apa?”
“Mana kutahu. Tapi munurutku ya, dia memanggil buaya putih yang sudah lama hilang dari sungai itu. Kata abangku, buaya putih itu seekor siluman yang bisa mendatangkan uang padamu kalau kau berhasil menaklukkannya.”
Danu melongo.
“Ah, bercanda kau, Yanto. Mana bisa anak sekecil itu sudah tahu cara memanggil siluman. Sepertinya menganggap dia hantu lebih masuk akal daripada itu.”
Yanto terbahak dengan suara cekingnya, “Danu! Kau mengira dia hantu? Haha, pantas kemarin kau lemas waktu kubilang tak bisa pulang bersamamu. Kau takut hantu!”
Danu yang sadar telah keceplosan berubah merah padam dan cemberut.
“Sialan kau, Yanto.” Danu mendorong bahu Yanto kasar dan pergi dengan perasaan dongkol.
***
Danu menghentikan langkahnya ketika sampai di ujung jembatan. Beberapa anak sekolahan tak jauh darinya sedang heboh memanggil anak kecil di pinggir sungai itu.
“Oy! Anak kecil!”
“Balik dong, oy! Kau tidak dengar, ya?”
“Oy, dek. Kata Mbah Karno buayanya datang besok, bukan hari ini.”
“Haha!”
Rupanya bukan cuma Yanto yang mengira anak kecil itu memanggil siluman.
Danu beralih ke anak kecil itu. Mulutnya telah berhenti komat-kamit, dan sepertinya para siswa yang menganggunya itu menyadarinya dan langsung tutup mulut. Takut.
“Hey, kita pulang saja. Ayo.”
Setelah gerombolan itu pergi, Danu kembali menatap si anak laki-laki. Tangan kanannya sibuk bermain dengan percikan air kali ini. Entah apa yang merasukinya, tiba-tiba Danu ingin menghampiri anak itu. Perlahan, ia mengambil jalan turun ke sungai yang sedikit terjal.
Yang penting dia bukan hantu.
Setelah mencapai dasar dengan sedikit kesusahan, Danu membatu di tempatnya karena anak kecil itu tiba-tiba menghentikan pergerakannya. Danu meneguk ludah.
Kau yang membawa dirimu sendiri ke sini, Danu bodoh. Hadapilah!
Mengambil langkah ragu-ragu, Danu menghampiri anak yang sedikit menundukkan kepalanya itu.
“Uh… Halo.” Danu mencoba menyapa.
Bocah itu tersentak pelan. Tak ada balasan, tubuhnya terlihat tegang.
Danu berdiri canggung. Ia tidak suka membuat orang lain merasa tidak nyaman, dan ia yakin itulah yang ia lakukan sekarang.
Dengan hati-hati, Danu berjongkok di samping anak itu, memastikan ia tidak terlalu dekat dengannya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Syukurlah pertanyaan pertama yang keluar dari mulutnya bukanlah kau bukan hantu, kan?
Mata anak itu bergerak gelisah. Dilihat dari dekat, paras anak ini ternyata jauh lebih muda dari postur tubuhnya. Enam tahun? Tujuh tahun? Danu mengira-ngira.
Sudah pasti dia tidak sedang memanggil siluman..
“Kau tinggal dekat sini?”
Si bocah membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Danu cemberut, sepertinya ia tak berniat mengobrol.
“I-iya.”
Eh?
“Iya?” Danu memastikan.
Si bocah mengangguk pelan.
“A-ah!” Danu akhirnya tersadar. Anak itu bicara!! “Aku tinggal di desa seberang.” Danu berseru sedikit antusias.
Anak itu menoleh kaget padanya, dan Danu langsung sadar ia terlalu sedikit bersemangat.
“Hehehe….” Danu menyengir keki, malu.
Mata bulat anak itu terpaku menatapnya. Dua detik, tiga detik, sebelum sebuah cengiran terpatri di wajah mungilnya. Danu langsung sumringah.
Kecanggungan yang menguasai di antara mereka segera mencair seperti air sungai yang mengalir.
***
“Jangan, Dan. Aku khawatir.” Yanto berusaha meyakinkan. Jari-jarinya mencengkeram erat baju seragam Danu yang berjalan tak acuh di sampingnya.
“Kau kenapa? Sudah kubilang dia bukan pemanggil siluman. Kalau tidak mau ikut, kau pulang duluan saja,” tukas Danu.
Cengkeraman Yanto tambah mengerat, “Danu, jangan! Firasat abangku jarang melenceng. Aku khawatir padamu.”
Merasa jengkel, Danu balik menarik lengan Yanto dan menyeretnya.
“Ck. Sini, kau ikut saja supaya kau lihat sendiri.”
“EH, EH, EH. Berhenti, berhenti. Aku tidak mau! Setan kau, Danu!” Yanto langsung melepaskan cengkeraman Danu dari lengannya dan lari terbirit-birit.
“AKU AKAN BERTANYA PADA ABANGKU LAGI, DAN. KALAU JAWABANNYA TIDAK BAGUS, AKU AKAN KEMBALI KE SINI. PASTIKAN DIRIMU MASIH HIDUP SAMPAI AKU DATANG.” Dan pergilah Yanto menjauh.
Danu meneguk ludah. Sialan, Yanto. Kenapa dia bicara seperti itu? Bikin takut saja.
Mungkin aku juga tidak boleh terlalu lengang.
***
Masa bodoh.
Kaki Danu berselonjor santai menghadap ke tepi sungai. Di sampingnya Dani duduk dengan kaki bersila. Dani, si anak yang dirumorkan berusaha memanggil siluman buaya putih di tempat mereka berada sekarang.
“Dani?! Wah, nama kita mirip. Aku Danu.” Danu mengulurkan tangannya antusias.
“Salam kenal, Mas,” balas anak yang bernama Dani itu. Wajahnya merah jambu. Tangan kecilnya membalas dengan hati-hati jabatan tangan Danu.
“Suasananya enak ya ternyata di bawah sini. Tahu begini, sudah dari dulu aku turun kemari.”
“Mas Danu sudah dua kali ke sini. Kemarin dan hari ini.” Dani menimpali.
“Hehe, benar.”
“Airnya juga jernih, Mas,” tambah Dani lagi. Danu melirik Dani yang kembali melihat ke permukaan air sungai. Cengiran tipis terlihat di wajahnya.
Danu mengerutkan alis. Ia menengok sedikit ke air sungai yang mengalir di hadapan mereka. Ada sesuatukah di bawah sana? Dani selalu merespon tapi matanya jarang tertuju padanya.
“Kamu lihat apa sih daritadi?” Akhirnya Danu bertanya.
Dani gelagapan. Ia langsung menegakkan badannya dan duduk rapi.
“Maaf, Mas.”
“Eh? Kenapa minta maaf? Aku cuma bertanya.”
“Nggak apa-apa, Mas,” balas Dani lagi. Ekspresinya terlihat hati-hati.
Gak nyambung jawabannya..
“Kamu kenapa suka main ke sini?” Tanpa sadar Danu pun mengeluarkan pertanyaan yang dari awal telah menghantuinya. Ia langsung merutuki diri. Lihatlah, anak itu jadi tambah tegang mukanya. Dasar Danu bodoh.
“M-maksudku, biasanya anak-anak seumuran kamu main ke lapangan di samping sekolahku. Tempat itu selalu ramai. Kami jadi sering batal main bola gara-gara mereka. Tapi kamu sepertinya lebih suka tempat yang tenang, ya..” Danu mencoba beralasan.
Melihat bocah itu bergeming, Danu berasumsi anak itu tahu orang-orang sering memperhatikannya di pinggir sungai ini dan tahu mereka juga penasaran seperti dirinya.
“Um..” Dani bergumam tidak pasti, dan Danu bersedia menunggu. Setelah pertemuan pertama mereka kemarin, Danu menyadari bahwa anak itu selalu membutuhkan waktu untuk membalas percakapan.
“Airnya jernih, Mas.”
Ha?
“Iya, kamu sudah bilang..”
“Airnya jernih. Melihat bayanganku jadi lebih mudah.”
Eh?
“Aku belajar bicara yang baik di depan bayanganku sendiri, Mas.. Di sini airnya jernih.”
“Ah…” Tapi buat apa?
“..Tapi buat apa?” Danu tak dapat menahan pertanyaan itu.
“Um…” Dani bergerak tak nyaman. “Ibu tidak suka bicara denganku. Katanya.. katanya ia tidak paham aku bicara apa. Jadi aku ke sini, buat belajar…”
Danu melongo. Dia tidak yakin jawaban seperti apa yang ia harapkan dari si anak kecil, tapi yang jelas bukan jawaban seperti itu. Belajar bicara dengan pantulan diri sendiri..
Dan mereka bilang anak ini cari siluman.
“Oh..”
“M-MAAF Mas Danu kalau aku salah bicara.” Dani berubah panik, mengira Danu tidak menyukai pengakuannya.
“Eh? Tidak tidak tidak. Kau tidak salah bicara, kok.” Danu segera membantah dengan sama paniknya. Rasa kasihan terbersit dalam dirinya melihat Dani yang masih kecil terlihat sangat was-was dengan cara bicaranya.
Seharusnya anak seusia dia tidak harus khawatir tentang salah bicara.
“Benarkah?”
Danu mengangguk meyakinkan, “Um. Kau oke.”
Dani termenung, “Kata Ibu aku bicaranya belepotan..”
Belepotan apanya? Sedikit lambat, mungkin iya. Tapi belepotan?
“Masa, sih? Tapi aku paham-paham saja sama kamu. Buktinya daritadi kita ngobrol.” Danu berusaha menghibur, dan muka Dani kembali merah jambu mendengarnya.
“Sepertinya latihanmu bicara sama air berhasil, eh?” Danu menambahkan. Niatnya hanya menggoda, tapi itu berhasil mengembalikan binar di mata anak kecil itu.
“Benarkah?”
“Benar.”
Dani menyengir kecil, “Syukurlah..”
Danu menatap iba. Seberapa besar perkataan Ibu anak ini mempengaruhinya sampai ia merasa seragu itu?
“Ibumu orang sibuk?”
Dani mengangguk, “Setiap pagi… Ibu berangkat ke pabrik. Pulangnya malam. Kalau sampai rumah.. pasti capek, mukanya lesu. Aku sering bilang.. mau bantu Ibu.. tapi Ibu tidak mau..”
“Jadi kamu kemari kalau tidak ada Ibu?”
“Iya, Mas..”
“Bicara sama pantulan kamu di air?”
Danu menyengir melihat muka Dani merah lagi karena malu. Rasanya masih ingin bertanya lebih jauh, tapi ia tidak mau mendengar sesuatu yang menyakitkan keluar dari mulut anak itu.
Danu berdeham, “Mulai sekarang kamu bicara sama aku saja.”
“Aku sedang bicara sama Mas.”
Danu tersedak. Anak ini—
Dani menyengir lebar melihat reaksi Danu. Dari matanya terpancar siratan jenaka. Pancaran itu baru ia lihat.
Sialan. Danu mengumpat. Dani yang jenaka seperti ini membuat Danu sadar bahwa Dani tetaplah anak kecil dengan sisi kekanakan pada umumnya. Barangkali selama ini ia hanya menahan diri saja karena tidak punya teman. Dengan cepat ia membuka diri pada Danu dan Danu senang mengetahuinya.
Danu membalas cengiran Dani.
“Aku serius. Kamu belajar bicara sama aku saja. Akan kupastikan Ibumu mau mendengarkanmu setelah ini.”
Dani tersipu.
“Kecuali kalau kamu masih betah sama bayanganmu di air? Siapa tahu kamu cuma narsis saja tapi mengakunya malu sama orang lain.”
“Narsis..?” Dani menunjukkan raut bingung.
“Terlalu percaya diri.”
Dani melotot tak terima, “Tidak kok, Mas!”
Danu tertawa kencang, menikmati ekspresi Dani yang cemberut lucu.
Hilang sudah dugaan-dugaan tak berbobot Danu pada Dani selama ini. Alasan yang begitu simpel namun miris membuatnya tak ingin menghindari anak itu lagi. Danu meyakinkan Dani bahwa ia telah mendapatkan teman baru.
“Kenapa namamu Dani?”
Dan mereka pun melanjutkan serunya percakapan itu sampai sore menjelang. Pertemanan kecil yang berharga terbentuk di pinggir sungai di bawah teduhnya pepohonan yang menghalangi terik sang surya.
***
“Sepertinya Danu berhasil menaklukkan anak kecil di pinggir sungai itu. Apa itu artinya dia juga sudah bisa memanggil siluman buaya putih?”
Keesokan harinya, Danu dibuat dongkol setengah mati terhadap tuduhan tak jelas dari teman-teman sekelasnya. Danu hanya bisa menghela napas lelah.
IDENTITAS PENULIS
Mega Zasmi Wahidatunnisa,
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris
Fakultas Ilmu Budaya,
angkatan 2016.
Baca Juga : Cerpen Permintaan Terakhir