Ingatkah engkau tentang kisah Ali Bin Abi Thalib, sahabat Rasulullah yang menyanggupkan dirinya untuk shalat dengan khusyuk?
“Jika memang benar kau dapat sempurna dan khusyuk dari awal hingga akhir, akan kuberikan surban ku yang terbaik sebagai hadiah untukmu” janji Rasulullah kepada Ali.
Kemudian Ali mengerjakan shalat sunnah dua rakaat. Dia mengerjakannya dengan penuh khusyuk. Setelah selesai dia ditanya oleh Nabi. “Bagaimana? Kau bisa mengerjakannya dengan khusyuk dan sempurna???
Ali menjawab, “Pada rakaat pertama saya mengerjakan dengan khusyuk dan rakaat yang kedua, ketika sujud yang terakhir saya tetap khusyuk hingga duduk tahiyat. Namun ketika mendekati salam hati saya berubah, teringat akan janjimu Ya Rasulullah, bahwa engkau akan memberikan surban terbagus milikmu untuk saya. Maka rusaklah kekhusukan salat saya.
Begitulah kiranya yang saya rasakan saat shalat maghrib berjamaah di Lombok. Di tengah shalat kami yang khusyuk, tiba-tiba saja disujud rakaat ke dua, lantai masjid bergetar. Gempa susulan kini terjadi lagi, kendati kami tetap melanjutkan shalat.
Dua minggu sebelumnya, sekitar pukul 21.00 saya bersama Inci sedang berunding membicarakan keberangkatan ke Lombok untuk misi kemanusiaan. Kami akhirnya memutuskan untuk berangkat bersama para relawan yang tergabung dari beberapa lembaga di Unhas.
Jujur saja, ini adalah pengalaman pertama saya menumpangi pesawat hercules milik TNI Angkatan Udara. Ada rasa takut sekaligus bangga, karena tidak semua orang berkesempatan menaiki pesawat ini.
Sebelum berangkat ke Lombok, sekitar pukul 11.00, kami mendapat kabar bahwa Lombok kembali diguncang gempa berskala 4,3 magnitudo. Yah, karena tekad saya yang sudah bulat untuk mengabdikan diri di sana, sehingga saya tetap tegar.
Perjalanan kami dari Makassar menuju Bandara Selaparang Mataram menghabiskan waktu selama 90 menit. Sesampai di bandara, kami istirahat sejenak sembari melaksanakan shalat duhur berjamaah. Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan ke posko utama pengungsian yang berada di daerah Tanjung, Lombok Utara. Di sana, koordinator relawan Unhas melaporkan jumlah relawan yang siap membantu korban gempa. Kami (relawan) dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok satu dan tiga ditempatkan di Puskesmas Nipah. Sedangkan kelompok dua dan empat ditugaskan melakukan penyisiran. Untuk kelompok dua ditempatkan di Pulau Gili Air, sedangkan kelompok empat ditugaskan di Gili Meno.
Saya sendiri ditempatkan di Pulau Gili Meno. Untuk menuju ke Pulau Gili Meno, saya dan teman tim relawan kelompok empat menghabiskan waktu sekiranya 15 menit untuk sampai ke tempat tujuan, dengan menggunakan perahu.
Sesampai di Gili Meno, kami disambut dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Sebelum melakukan ‘penyisiran’ di daerah tersebut, kami harus melapor pada polisi yang berjaga di posko. Setelah itu, kami berjalan sekitar satu kilo meter untuk membantu masyarakat yang membutuhkan bantuan medis. Kebanyakan masyarakat (anak-anak dan ibu hamil) mengalami diare dan influenza. Kami membagikan obat dan makanan kepada mereka.
Usai mengerjakan tugas di sana, kami berpamitan kepada warga. Kami akhirnya kembali ke perahu yang akan membawa kami pulang ke posko selanjutnya. Sekitar sepuluh menit perjalanan, kami sempat dikagetkan oleh goncangan ombak yang besar. Perahu kami hampir terbalik. Bagaimana tidak, gempa ternyata berpusat di tempat kapal kami menyeberang. Namun, tidak berlangsung lama, perjalanan kami kembali membaik. Sesampai di pelabuhan, kami melanjutkan kembali perjalanan ke posko Nipah.
Jumat, 17 Agustus 2018. Hari kemerdekaan Republik Indonesia. Kami para relawan tetap mengikuti upacara penaikan bendera. Tak hanya itu, kami tetap meramaikan acara 17-an dengan mengadakan lomba untuk anak-anak di Teluk Godek. Para warga sangat antusias dalam mengikuti perlombaan yang kami adakan. Ada lomba rangking satu, lomba makan kerupuk, lomba menggambar, dan masih banyak lagi.
Hari-hari di Lombok kami habiskan dengan membantu para masyarakat. Kami juga merasakan gempa susulan beberapa kali. Gempa paling dahsyat yang saya rasakan selama di Lombok terjadi pada malam Minggu. Tanah bergetar, suara gelombang laut seakan ingin memecah gendang telinga kami. Kami kaget diiringi rasa takut tak terkira. Mau kemana lagi kami berlindung? Lari ke belakang, daerah bukit, kami takut terjadi longsor. Mau lari ke depan, kawasan pesisir, kami juga takut dengan tsunami. Kendati, kami tetap berdoa, memohon perlindungan Sang Penguasa langit dan bumi.
Kami terjaga hingga pukul dua pagi. Bahkan sempat ada yang trauma dengan kejadian tersebut. Belum lagi, kami juga harus mengangkat pasien yang dirawat inap di Puskesmas Darurat. Sehari setelah kejadian itu, kami berangkat menuju Kota Mataram, tempat di mana kami akan bersiap pulang.
Kami menanti pesawat hercules megantar kami kembali ke Kota Daeng. Karena esoknya akan lebaran idul adha. Saya ingin segera pulang mengobati kecemasan ayah ibu di kampung. Namun harapanku tinggal harap semata. Hercules yang kami tunggu-tunggu kini tak kunjung datang, mengharuskan saya dan relawan lainnya merayakan hari lebaran di kampung orang. Sedih juga rasanya.
Penulis : Wandi Janwar
Reporter PK Identitas Unhas 2018
Mahasiswa Jurusan Fisika, FMIPA Unhas 2016