Tiap fakultas yang memiliki sarana laboratorium tentu membutuhkan dana untuk pengadaan dan pemeliharaan alat. Terlebih departemen yang telah bersertifikat AUN-QA. Salah satunya, Laboratorium Arkeologi, Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Hasanuddin.
Sejak tahun 2019, Departemen Arkeologi, FIB Unhas telah meraih AUN-QA sertifikasi tingkat Asia Tenggara ini memiliki banyak indikator yang harus dipenuhi oleh tiap departemen dan salah satunya adalah sarana dan prasarana yang menunjang keberlangsungan aktivitas pembelajaran dan penelitian oleh mahasiswa serta civitas akademika lainnya. Namun, ada yang menjadi persoalan mengenai pemanfaatan fasilitas Departemen Arkeologi.
Mahasiswa Arkeologi, Hafdal mengatakan status AUN-QA di Laboratorium Arkeologi tidak layak digunakan dalam riset.
“Status tenaga pendidik sudah sangat memadai dan mumpuni. Namun, fasilitas laboratorium tidak layak digunakan sebagai tempat riset dan analisa,” ujar Hafdal dalam wawancara melalui Zoom Meeting, Jumat (15/10).
Menurut Hafdal, standarisasi operasional laboratorium Arkeologi masih sangat kurang dikarenakan fungsi laboratorium tidak digunakan sebagai tempat menganalisis penelitian, tetapi sebagai ruang kelas.
“Mahasiswa Arkeologi bahkan lebih memilih menggunakan laboratorium eksternal yang disediakan Balai Arkeologi Provinsi,” ungkap Hafdal.
Saat diwawancara, Senin (19/10) salah satu Dosen Arkeologi, Erwin membenarkan Laboratorium Arkeologi masih kekurangan fasilitas.
“Kuantitas alat tidak sebanding dengan kuantitas mahasiswa yang hendak menggunakan laboratorium Arkeologi, contohnya mikroskop kita baru memiki satu dan peralatan lainnya masih sangat terbatas” ujar Erwin.
Tak hanya dari segi fasilitas yang dikeluhkan mahasiswa. Mereka juga mengeluhkan standarisasi terkait penggunaan laboratotium yang belum memadai. Contohnya penggunaan ruangan laboratorium sebagai ruang kelas untuk perkuliahan antara dosen dan mahasiswa.
Erwin juga membenarkan dulunya ruang laboratorium digunakan sebagai ruang kelas dikarenakan ruang perkuliahan di Departemen Arkeologi memiliki jumlah yang terbatas.
“Sebelumnya, laboratorium memang digunakan sebagai ruang kelas, tetapi semester ini dengan kurikulum baru, penggunaan laboratorium sebagai ruang kelas hanya digunakan oleh mata kuliah yang melakukan penelitian di laboratorium tersebut,” tambah Erwin.
Selain itu, status Departemen Arkeologi sebagai AUN-QA, laboratorium Arkeologi ternyata belum terstandarisasi.
“Untuk standarisasi, kami belum ada. Kami memulai standarisasi tentang pedoman pemakaian lab, pakaian lab, peralatan di dalam lab,” sebut Erwin.
Kata Erwin, adanya kekurangan tersebut tidak lepas dengan biaya pengembangan yang dianggarkan. Namun, anggaran ini belum jelas pengadaannya dikarenakan status Departemen Arkeologi di Unhas masih dipandang dalam keilmuan Humaniora yang tidak membutuhkan laboratorium.
“Untuk anggaran seharusnya ada tetapi saya yakin yang menjadi kendala di Unhas itu terkait dengan posisi Arkeologi masih dianggap bidang Humaniora yang tidak membutuhkan laboratorium. Padahal Arkeologi adalah multidisiplin ilmu yang membutuhkan kegiatan penelitian karena objek kami adalah benda,” Jelas Erwin.
Erwin berharap ke depannya semua kekurangan yang dikeluhkan dari mahasiswa bisa menjadi kritik dan saran kepada stakeholder terkait untuk lebih memperhatikan kondisi laboratorium Arkeologi,
“Semoga laboratorium Arkeologi Unhas bisa menjadi pusat penelitian Arkeologi di Indonesia Timur sehingga berbagai peneliti bisa datang dan meneliti,” tutup Erwin.
Fauzan, Nagida