Malam sedang sendu dihantar rintik dalam remang cahaya lampu-lampu jalanan yang gusar, sedangkan waktu bergerak mempercepat kesunyian di balik pintu-pintu yang tertutup. Jalanan di sini sepi seperti biasanya, hanya beberapa yang masih sibuk dengan lajunya kepentingan. Pohon-pohon kuyup dan dingin, sepoi angin membawa rindu yang lembab dari utara, kala menabrak halus ubun-ubun tubuhku.
Di teras rumah yang cukup rindang, waktu tengah bertaruh untuk terus kujaga. Menanti jemput pulang untuk mengantarku memeluk rindu dengan kamarku. Sudah seminggu aku di kota ini. Kota dengan jajaran lampu yang tipis dan jalanan yang sepi. Sejak seminggu lalu datang dengan kegiatan organisasiku.
“Belum datang?” tanya Ical, dari depan pintu.
“Belum,” jawabku singkat.
“Kita akan bermalam lagi di sini, jika hujan ini menjadi alasan mereka untuk tidak datang,” suara Kak Ono yang sudah berada di samping meja di depanku sambil meletakan secerek teko berisi kopi panas yang ia buat.
“Semoga saja tidak,” sahutku penuh harap.
Gerimis memang belum menunjukan tanda-tanda bahwa langit akan mengering sebelum fajar. Jalanan semakin sendiri, sedang angin utara terus-menerus membawa rindu yang lembab.
Dari semua yang seharusnya pulang Aku, kak Ono dan Ical-lah yang masih tersisa, kurangnya kendaraan membuat kami harus menunggu jemputan kedua. Namun sampai pada waktu larut, kendaraan yang dinanti belum juga menunjukan dirinya sedangkan kantuk mulai datang. Kesunyian dengan cepat menghampiri kami bertiga, binatang malam pun malu-malu untuk bersuara, hanya bunyi rintik yang bertalu dengan semangat dari atap dan ranting pohon. Sedang tanganku bergerak menuang segelas kopi dari teko tua berwarna keemasan sebagai teman melawan rasa kantuk.
Teras rumah ini cukup rindang untuk melindungi kami dari ramainya serpihan hujan. Di bawah rindang ini juga terdapat empat buah kursi yang terbuat dari anyaman rotan yang sudah cukup tua, lilitan rotan tipis dengan rapi melingkar di tangan kursi sampai di ujungnya, seakan ada yang ia tuju di sana. Sedang bagian sandaran kursi terdapat anyaman dengan bentuk motif segi empat beda sisi. Saat itu pula satu senyum perlahan mulai tercipta.
“Anyaman lilitan ini sudah seperti rindu,” kataku, setengah bergumam, sambil meraba tangan kursi yang kupakai duduk.
“Kenapa?” tanya Ical kepadaku.
“Tidak ada rindu yang tak kuat, ia adalah rasa yang jujur kuat layaknya anyaman ini,” sahutku menjelaskan gumamanku.
“Setuju, tapi bukan karena sama kuatnya, tapi sama mahalnya, rindu mahal nggak?” tambah kak Ono dengan pertanyaan singkatnya.
Obat bernama temu penanda ada jarak, sedangkan untuk era sekarang hanya biaya yang dapat memperpendek jarak untuk pertemuan.
“Tapi, mahalnya rindu tak sama dengan harga sebuah kursi kak,” tanggap Ical, dengan nada ketidaksetujuannya.
“Memang sih, itu bukan perbandingan yang setara, namun tetap saja pernyataanku tentang kursi ini benar,” jawab Kak Ono dengan sedikit membela diri.
”Karena jika dibandingkan dengan kursi plastik, bisa dua kali lipat harganya, alasannya sederhana, lebih mahal kerja dan biaya rotan ketimbang biaya pengolahan plastik” lanjut kak Ono dengan penjelasan yang tak dipertanyakan itu.
“Tapi bukannya setimpal, ya? Dengan kualitas bahan kursi anyaman ketimbang kursi plastik?” Ical kembali bertanya.
“Betul, tapi berapa biaya di balik kualitas itu, saat ekonomi masyarakat tak begitu baik dan merata. Malah jadinya ada yang menggunakan hal itu untuk memposisikan diri dalam kelas sosial bahwa kursi rotan hanyalah untuk orang kaya dan sebaliknya kursi plastik penanda untuk mereka yang kurang mampu,” jawab kak Ono.
“Saya lebih penasaran pada siapa yang membuat sistem seperti itu,” tanggap Ical spontan dengan wajah penuh penasaran ke topik yang lebih luas.
“Dari dulu juga hal itu sudah berlaku di Nusantara. Sistem feodal kita sudah memberlakukan itu sejak lama, bahwa terdapat kelas sosial dan struktur sosial yang berbeda, nah berlanjut sampai pada pola penggunaan benda, ada yang khusus penguasa dan tidak boleh ada yang menggunakan selain penguasa feodal kita,” sahut kak Ono menghubungkannya sedikit dengan kilas balik sejarah.
“Ya kalo zaman feodal, ya beda lagi, tapi kan sekarang udah modern?” tanya Ical lanjut.
“Nah, betul. Sekarang itu udah beda, tapi pemahamannya kita hampir sama aja sih, bedanya lebih terbuka dan bebas aja sekarang untuk semua orang,” kak Ono terdiam sejenak menatap gerimis.
“Kak,” Ical memulai kembali pertanyaanya pada kak Ono, “Kira-kira, apa motif kebanyakan orang mengejar privilege itu?”
“Keluwesan akses atas ekonomi,” jawab kak Ono singkat.
“Emang tanpa itu orang lain nggak bisa?” Tanya Ical, sanggah.
“Bisa, tapi terbatas, privilege memungkinkan seseorang secara terbuka aksesnya atas ekonomi,” jawab kak Ono, menunggu pertanyaan lanjutan dari Ical.
“Contohya?”
“Sebelum ke contohnya, apa yang mendului hadirnya privilege itu, harusnya dari situ dulu awal pertanyaannya,” kak Ono sedikit menyanggah dengan memberikan gambaran dasar.
“Yang tak lain, alasan adanya akses ekonomi di atas rata-rata, jabatan dan latar belakang orang tua, prestasi dan lain-lain. Nah, hal ini akan menjadi batu loncatan untuk terbukanya akses pada tingkatan ekonomi selanjutnya,” tutup kak Ono lalu menekuk pelan gelas kopinya.
“Misal, seorang anak kepala desa sangat mungkin untuk mendapat sekolah yang layak, lalu memungkinkan dia untuk mendapat akses perkuliahan lebih tinggi lagi, mendapatkan kerja yang layak, menikah dengan gadis bangsawan, dan seterusnya. Semua kebebasan akses tadi berasal dari privilege-nya sebagai anak dari orang tua pejabat dan terus demikian berlaku untuk seterusnya. Ia akan berusaha mempertahankan privilege itu untuk seluruh generasinya,” tangkas kak Ono panjang.
Ia menambahkan, sekarang orang-orang saling bersaing mengejar kedudukan tertinggi di tengah masyarakat kelompoknya. Untuk itu, mereka akan bersaing saling sikut, menjatuhkan setiap yang dianggap duri dalam usahanya. Demikian pikiran kita dipoles karena ada sesuatu yang menjanjikan pada posisi dan kedudukan itu, tercapainya kebutuhan dan akses ekonomi terbuka luas, kemudahan bakal didapat di manapun, dengan kondisi apapun bergantung pada setinggi apa kedudukan sosial itu dicapai nantinya.
Ical mengangguk pelan, tanda mengerti. Ia memang selalu demikian. Sejak mengenalnya dari awal perkuliahan, Ical selalu bisa menggali topik pembicaraan dengan pertanyaan yang ia ajukan. Ia memiliki perhatian lebih atas sesuatu dan mempertanyakannya dengan cukup cermat. Hal itu sudah sering kali nampak di tempat tongkrongan kami.
Kak Ono lanjut menerangkan bahwa tidak ada salahnya mengejar privilege itu. Di era sekarang, menaikkan status sosial untuk kemudahan akses yang dibicarakan tadi bukanlah sesuatu yang perlu dianggap buruk, saat kedudukan-kedudukan tadi dapat dipakai untuk kemanfaatan banyak orang. Misalnya, tak segan untuk memberi kepada tetangga yang kurang mampu, memberikan sumbangan ke keluarga fakir miskin, santun pada anak yatim, dan ikut serta dalam masalah-masalah sosial yang lain. Namun, di beberapa kenyataan, ada banyak sekali orang yang memiliki privilege itu hanya memikirkan diri sendiri, memanfaatkan status untuk meninggikan diri, lalu memandang rendah sebagian diri diluarnya.
Rambut bagian tengah Kak Ono sudah tak lagi tumbuh, begitu pula gigi depannya yang dilalap habis oleh waktu, keriput kulit penanda tua hidup subur mengelilingi bola matanya, tanda ia terlampau tua dengan panggilan kakak yang disandang orang padanya.
Malam terasa panjang, dalam gerak waktu yang seperti itu, jalanan menjadi makin sendiri, hanya rintik yang sedari tadi menemaninya. Sedang di teras rumah, kami bertiga masih bersenggama dengan kebosanan menunggu jemputan pulang.
“Apa ada perajin juga di kampungmu, Gi?” kak Ono tiba-tiba bertanya padaku yang sedari tadi hanya menyimak.
“Pernah ada kak, perajin keranjang. Namanya Pak Larsin. Kampungku tak memiliki rotan yang banyak, jadi dalam pembuatan keranjang biasanya Pak Larsin gunakan laleba yang diurut tipis sebagai bahan dasar anyamannya. Sayangnya, Pak Larsin sudah meninggal setahun lalu dan parahnya lagi tak ada satu pun anaknya yang mewarisi kerajinan itu kak,” jawabku.
“Leleba?” tanya Ical dengan wajah penasarannya.
“Laleba, bukan leleba,” kataku pada Ical memperbaiki pengucapannya.
“Entah apa sebutannya di sini. Tapi ia sejenis bambu, dengan struktur lebih tipis dan lebih kecil dari bambu biasa,” tambahku.
“Memang sudah sangat jarang menemukan anak muda yang mau bersentuhan dengan kerajinan,” Kak Ono berbicara lanjut dengan pandangan ke arah jalan yang basah.
“Kehidupan yang praktis membentuk pola pikir baru tentang kerja, bahwa sudah saatnya bekerja tanpa harus berpeluh. Termasuk menjadi perajin yang dalam pengerjaannya bermandikan waktu dan tenaga,” Timpal kak Ono.
Perbincangan kembali meredup. Ical menatapku singkat lalu memalingkan wajah ke arah jalanan yang tertimbuk dinginnya air hujan. Soalan hidup memang tidaklah selesai dalam satu kali atau dua kali pembicaraan lewat tongkrongan, tetapi perbincangan singkat di bawah remang cahaya lampu ini akan mempertemukanku dengan pembicaraan lain untuk terus mengenal dan belajar.
Aku dan sesiapapun yang mungkin menunggu ataupun habiskan waktu, hidup dan berkembang dalam pembicaraan dan akan terus seperti ini. Belajar tentang hidup, moral, cinta dan bayang masa depan dari pembicaraan-pembicaraan tongkrongan yang lepas atau mungkin saja di suatu tempat di bawah pohon, di bawah rembulan, atau di bawah siluet merah surya di ufuk barat, atau di suatu kota dengan jajaran lampu yang tipis dan di bawah remang cahaya lampu, ditemani hujan dan angin utara yang lembab.
Jalanan terus sendiri dalam larut, gerimis masih merundung bumi sementara angin utara terus-terusan melanda perlahan membawa rindu basah. Binatang malam berdendang dalam suara yang saling tindih dan kami masih tiga lelaki yang menunggu jemput pulang di bawah remang cahaya lampu yang gusar. Lalu dari arah utara sebuah mobil berbelok masuk ke halaman rumah, menabrak rintik hujan yang kian menderu, bersiaplah kami untuk pulang.
Di suatu kota dengan jajaran lampu yang tipis, Barru 2022.
Penulis, Syahril Lesbatta
Mahasiswa Sastra Inggris Unhas
Angkatan 2018.