Kuliah dalam jaringan, tetapi pikiran di luar jaringan merupakan salah satu ungkapan menggelitik yang sering terdengar di kalangan mahasiswa. Perkuliahan daring melahirkan banyak tugas dengan sedikit pemahaman, di mana dosen yang jarang menjelaskan materi maupun mahasiswa yang sebenarnya tidak memperhatikan penjelasan tersebut. Apalagi permasalahan jaringan yang putus-putus hingga mengerjakan tugas mata kuliah lain. Diburu tenggat waktunya.
Perkuliahan daring menurunkan antusiasme belajar di tengah pandemi Covid-19. Dikutip dari liputan identitas Unhas berjudul “Sengkarut Kuliah Online”, perkuliahan daring memunculkan sejumlah kendala bagi mahasiswa, di antaranya dosen yang tidak menjelaskan materi perkuliahan dan hanya memberi banyak tugas.
Padahal, mahasiswa kesulitan belajar sendiri di rumah. Mereka juga harus menyelesaikan tumpukan tugas. Alih-alih meningkatkan pemahaman dan produktifitas mahasiswa, justru menurunkan semangat belajar, meningkatkan stres, bahkan membahayakan kesehatan mental.
Tidak hanya terjadi pada mahasiswa Unhas, melainkan mahasiswa universitas lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Telkom University dan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, sebanyak 60.5 persen mahasiswa siap beradaptasi dengan penggunaan teknologi untuk perkuliahan daring di masa pandemi.
Namun, sekitar 59.5 persen mahasiswa keberatan terhadap tugas yang diberikan dosen karena dapat meningkatkan stres sekitar 60 persen (Kusnayat, 2020). Penelitian juga dilakukan kepada 392 mahasiswa Universitas Andalas untuk mengukur skala depresi, kecemasan, dan stres pada masa pandemi. Hasil penelitian
menunjukkan 30.1 persen mahasiswa mengalami stres sedang, 16.1 persen stres berat dan 4.6 persen stres sangat berat. Kemudian, 20.9 persen mahasiswa mengalami kecemasan sedang, 19.9 persen kecemasan berat dan 34.4 persen kecemasan sangat berat. Lalu, 27.6 persen mahasiswa mengalami depresi sedang, 11.0 persen depresi berat, dan 8.7 persen depresi sangat berat (Meri, 2020).
penelitian tersebut merujuk pada distress (stres jahat). Salah satu upaya untuk mengatasi stres jahat dengan mengubahnya menjadi eustress (stres baik). Perbedaan mendasar dari kedua jenis ini ialah eustress menimbulkan perasaan tertantang untuk menghadapi sumber stres, sedangkan distress memunculkan keinginan untuk menghindari sumber stres tersebut.
Dalam upaya meminimalisir stres jahatmahasiswa, maka perguruan tinggi perlu meningkatkan antusiasme belajar. Semangat belajar dari dalam diri yang digerakkan oleh Tuhan. Belajar dengan antusiasme merupakan pengalaman spiritual yang menenangkan dan minim distress. Karena ilmu adalah cahaya-nya, maka pendidikan diharapkan mampu menyalakan cahaya itu dalam diri setiap mahasiswa.
BACA JUGA : Jangan Takut Divaksin
Harapan tersebut dapat dilakukan kampus kepada dosen sebagai garda terdepan yang menyampaikan ilmu pada mahasiswa. Hal yang paling memungkinkan dilakukan dosen mewujudkan misi ini di tengah pandemi adalah memaksimalkan penggunaan platform E-Learning.
Dosen dapat memanfaatkan beberapa platform E-Learning yang berkualitas sekaligus gratis. Crash Course merupakan rekomendasi saluran pendidikan Youtube berbahasa inggris yang cocok untuk belajar topik apa saja. Penjelasannya jernih, menggunakan analogi sederhana, dan terdapat animasi menarik yang mendukung pembelajaran. Crash Course dapat menjadi bahan belajar mahasiswa dari berbagai jurusan.
Untuk memastikan mahasiswa menyimak konten E-Learning, dosen perlu mengevaluasi sebelum kelas dimulai. Mahasiswa ditanya tentang apa saja yang diperoleh dari konten E-Learning. Dosen dapat mengadopsi salah satu metode pembelajaran di Amerika, yaitu bell work. Bell work merupakan aktivitas dalam kelas yang biasanya diisi dengan pretest, review konten, dan membaca dalam diam, sebelum bel tanda dimulainya kelas berbunyi.
Aktivitas ini membuat para pelajar di Amerika lebih terhubung dengan apa yang akan mereka pelajari di kelas. Bell work juga membuat pelajar merasakan eustress, stres yang menimbulkan perasaan tertantang dan antusiasme. Tentunya, metode bell work dapat diterapkan oleh dosen kepada mahasiswa di sini, sehingga memunculkan eustress dan mahasiswa secara perlahan lebih terhubung dengan materi perkuliahan, baik di saat maupun pasca pandemi Covid-19.
Selain meningkatkan antusiasme belajar pada mahasiswa, E-Learning juga menjadi solusi bagi masalah skills gap (kesenjangan keterampilan), baik di dunia pendidikan maupun dunia kerja. Setiap orang dapat mempelajari materi perkuliahan dan keterampilan baru dari berbagai sumber yang berkualitas.
Seharusnya dosen dan mahasiswa harus bersinergi. Dosen bertanggung jawab terhadap atmosfir pembelajaran. Mahasiswa bertanggung jawab untuk berkesadaran penuh dalam belajar dan menyampaikan kritik jika mendapati dosen yang ogah-ogahan, bukan malah mendiamkan, pemberian banyak tugas sebaiknya dihindari. Karena pada akhirnya, meningkatnya pemahaman mahasiswa lebih baik daripada semua tugas dikerjakan dan IPK tinggi, tetapi tidak memahami apapun. Pemanfaatan E-Learning akan mendukung sinergi itu, untuk mewujudkan misi mulia : merawat antusiasme belajar mahasiswa dan menyalakan cahaya-Nya di tengah pandemi Covid-19.
Penulis Siti Nur Azizah Fitriani Akbar merupakan Juara 1 Lomba Opini Dies Natalis identitas ke-46, sekaligus Mahasiswa Program Studi Ilmu Komputer, FMIPA Universitas Hasanuddin.