Suasana cerah di sore itu. Andri, lelaki paruh baya itu, tampak menikmati secangkir kopi hitam yang masih mengeluarkan sedikit kepulan asap. Sesekali mengisap rokok, sambil serius menyimak berita sensasi lewat layar kaca gawainya.
Tiba-tiba muncul jagoannya satu-satunya, Wandy. Dia langsung menyerbu bapaknya, Andri. Memeluk erat, terlalu gembira, dengan nafas tersenggal-senggal.
“Tenang dulu. Ada kabar apa yang dibawa anak kebanggaan bapak ini?” Tanyanya Andri selidik. “Kok, gembira sekali. Padahal, biasanya mahasiswa baru, pulang dari kampus, justru murung dan mengadu yang tidak-tidak akan perlakuan seniornya,” sergahnya.
“Saya dapat teman baru. Orangnya baik sekali, cantik, tinggi anggun, tapi sangat tegas,” ujar Wandy.
“Heh! Kamu itu disuruh kuliah, bukan untuk pacar-pacaran.”
“Tapi, ini dosen saya, pak! Dia juga WD 3 di fakultasku.”
“Hah… ! Dosen kamu yang ingin kamu pacari. Hebat sekali kamu.”
“Bukan pacaran, pak. Dia mau angkat saya jadi anak angkatnya.”
“Memangnya dia tidak punya anak?”
“Dia belum menikah, pak. Meski umurnya, yah seumuran bapaklah.”
Wandy kemudian bercerita, dosen sekaligus WD3-nya itu namanya Bu Ika. Ketika mahasiswa, dia menjabat Ketua BEM. Setelah putus pacarnya yang merupakan juniornya, dia memilih terus melanjutkan kuliahnya. Dia dosen Ekonomi Syariah yang sangat bagus dalam memberikan kuliahnya. Padahal, ketika mengambil S1-nya di Unhas, Teknik Mesin. Dia lanjut ke UI, dengan mengambil S2 dan S3 program Ekonomi.
Wandy juga menyampaikan kepada bapaknya, Bu Ika sempat menanyakan nama ibunya, Karina, namun dijawabnya kalau namanya ibunya Dewi. Tetapi ketika ditanya nama bapaknya Andri, Wandi mengiyakan. Dan Wandy terpana ketika Ibu Ika menyebut nama panjangnya bapaknya; Andri Mukhlis Ahmad Usman Saddia Hady.
“Bapakmu itu dulu penulis dan selalu pakai nama samaran Amans Hady, yah singkatan dari nama lengkapnya Andri Mukhlis Ahmad Usman Saddia Hady (Amans Hady),” jelas Wandy menirukan ucapan Ibu Ika.
Mendengar penjelasan anaknya, Andri tiba-tiba tercenung. Mengingat puluhan tahun lalu, masa-masa kuliahnya, termasuk ketika memacari seniornya, yang juga ketua BEM-nya, Ika.
Waktu itu, dia mendapat pujian dari teman-teman kuliahnya, karena mampu menaklukkan gadis cantik, ayu, dengan bodi tinggi sempurna. Terlebih lagi aktivis dengan predikiat Ketua BEM. Mungkin satu-satunya perempuan di kampusnya yang menjabat ketua BEM fakultas.
Hanya saja, perjalanan cintanya dengan Ika, putus di tengah jalan, lantaran teman-temannya juga. Yah, teman-temannya mengatakan percintaannya dengan Ika, hanya kamuflase.
“Sebenarnya Ika itu mengidap penyakit yang disebut tidak memiliki rasa cinta atau kasih sayang, tetapi hanya rasa suka,” ungkap Hafis, teman baik Andri.
“Pernahkah kamu merasakan getar-getar cintanya Ika padamu, Ndri? Yah, semisal kamu bersamanya, berpegangan tangan, atau kalau sedikit kurang ajar, menciumnya? Ika itu hanya suka sama kamu, tapi tidak ada perasaan cinta,” timpal Ical.
Akhirnya, perbincangannya dengan teman-teman se-gant-nya memutuskan untuk menguji cinta Ika. Andri, selaku ketua bina akrab, harus pura-pura mencintai salah seorang mahasiswa baru, Karina, guna membuktikan apakah Ika punya rasa cemburu. Ternyata, inilah malapetaka yang membuat hubungan Andri dengan Ika terpaksa putus.
Saat itu, pulang dari bina akrab, Andri ingin menghadiahi Ika, jam tangan cowok untuk hadiah ulang tahunnya. Maklum, Ika yang cantik ayu, meski bukan tomboi, tapi lebih suka mengenakan asesoris cowok. Yah, mungkin untuk menyesuaikan perawakannya yang tinggi itu.
Begitu Andri membuka dus jam tangan itu dan hendak memasangkan ke tangan Ika, seketika Ika menempisnya. “Berikan saja kepada Karina, mahasiswi baru itu, yang suka kamu manja-manja,” ujarnya berang, sembari berlalu.
Dan Andri semakin merasa bersalah, karena Ika yang meninggalkannya tiba-tiba, terpaksa harus dirawat di rumah sakit selama dua minggu, karena kecelakaan lalu lintas. Dahinya robek terkena pecahan kaca depan mobilnya, ketika menabrak pohon, saat menghindari kendaran yang tiba-tiba memotong di tengah keramaian lalu lintas.
Terakhir kali pertemuan antara Andri dan Ika, saat menjelang Pemilu BEM. Ika dengan masih perban di dahi, mengajak Andri masuk ke ruangan Ketua BEM. Di situ, Ika secara sepihak memutuskan hubungannya dengan Andri, meski Andri berusaha memberi penjelasan. Ika hanya meminta Andri membantunya menyukseskan Pemilu BEM.
***
Andri mengadang putra satu-satunya, Wandy di ruang tamu, begitu Wandy keluar kamar siap-siap berangkat kuliah. “Berikan jam tangan ini kepada Bu Ika, sebagai tanda terima kasihmu diangkat sebagai anak angkat,” ujarnya sembari menyerahkan jam tangan itu kepada Wandy.
Begitu Wandy berlalu, Andri pun duduk di sofa, lalu mengenang jam tangan yang disimpannya berpuluh-puluh tahun itu. “Mudah-mudahan Ika mau menerima jam tangan itu, yang memang kuhadiahkan dulu saat ulang tahunnya.”
Andri menyadari ketololannya. “Aku dikenal penakluk gadis. Tetapi, aku tak mampu meluluhkan kecemburuan Ika. Mengapa aku tak bisa menyadari betapa cintanya Ika padaku. Padahal, aku menikahi Dewi demi untuk selalu mengenak Ika, karena Dewi adalah teman baik Ika sewaktu kuliah. Ah..! Aku Memang Pecundang!”
Penulis: Mukhlis Amans Hady
Penulis merupakan Tim Supervisor PK Identitas Unhas.