Aku tergopoh-gopoh memasuki kamar Mama dan menemukannya dia berlinangan air mata.
“Ada apa, Ma?” tanyaku.
“Mengapa disini sangat gelap Win?” Mama meraba lenganku dan menemukan tanganku untuk dia genggam.
Setelah 15 menit berdebat di dalam kamar disertai isak tangis, aku menuntun Mama keluar untuk menemukan cahaya matahari. Mama hanya menggeleng tak mampu menemukan setitik cahaya.
“Mama buta, Mama buta.”
Dia menggogsok-gosok kedua matanya yang basah dengan air mata. Aku hanya diam seribu bahasa, sepenggal nasehat, sepenggal obat penenang tak bisa keluar dari mulutku.
Para dokter hanya mengernyitkan dahi mereka ketika aku membawanya ke rumah sakit. Tak ada penyakit serta tak ada kecelakaan yang menjadi penyebab. Hingga akhirnya Mama menolak ketika aku mengajaknya untuk kesekian kalinya.
“Sudahlah, Mama tak perlu operasi, uang dari mana untuk biaya operasinya? Kita mau makan apa nantinya?” Ungkapnya ketika aku mengajaknya untuk operasi.
Satu minggu setelah kejadian itu, hidupku bagaikan sebuah drama yang sangat memilukan. Mama belum bisa menerima kenyataan itu, begitupun aku. Mama bagaikan sebuah patung di teras rumah yang selalu menunggu matahari terbit. Sedangkan aku, harus menjadi orangtua dadakan yang tak pernah terbayangkan. Sudah satu minggu aku tak berkunjung ke sekolah. Sepertinya aku harus melupakan impianku untuk lulus tahun depan dengan nilai yang membanggakan, juga untuk masuk ke universitas yang kuimpikan tampaknya betul-betul hanya impian belaka. Surat pemecatan Mama sebagai karyawan di toko besar datang ke rumah beberapa hari yang lalu. Makhluk langit sepertinya sedang mengutuk kehidupan kami.
“Surya yang kunantikan tak kunjung tiba, senja yang kurindukan tak pernah terjadi”
Mama mulai mengeluarkan kata-kata puitisnya. Dulu aku mengira dia sedang mengigau dengan kalimat-kalimat majasnya, tapi mengingau hanya dilakukan ketika seseorang sedang tertidur, sedangkan Mama duduk tegak melantunkan semua itu.
Mama selalu memintaku menemani dan mendengarkan semua ceritanya. Terkadang aku tertidur dengan cerita yang bagaikan dongeng dan selebihnya aku tak mengerti ketika dia sudah menggunakan kata-kata majasnya. Jujur, warisan itu aku tak dapatkan darinya. Mama suka sekali membaca buku dan ketika sekolah dulu dia sering kali ikut lomba puisi, cerpen dan karya ilmiah. Nilai bahasa Indonesianya pun tak perlu diragukan lagi. Ini bertolak belakang sekali denganku yang sangat malas membaca buku.
“Win, aku ingin menulis.” Pernyataan Mama yang membuatku terkejut. Bagaimana mungkin dia akan menulis.
“Tunggu Ma, aku ambilkan Pulpen dan buku.” Aku membalasnya dengan menyembunyikan intonasi terkejutku.
“Mama masih punya sepasang tangan yang tak buta,” katanya.
“Winda, coba kamu bacakan puisi yang sudah Mama buat.” Dia menyodorkan buku yang telah dicoreti.
“Ya tuhan, tulisan apa ini, bahkan tulisan anak-anak yang baru belajar menulis masih bisa samar-samar aku baca. Tapi ini semacam tulisan dokter yang sedang memberikan resep obat untuk dibawa ke apotik.” Aku cukup lama bergumam dalam hati.
“Winda, kenapa lama sekali, tolong bacakan aku ingin mendengarnya.”
Aku membaca barisan-barisan tulisan itu dengan terbata-bata. Aku sontak kaget ketika Mama tiba-tiba melempar pulpen dan mengenai kepalaku.
“Sepertinya kedua tangan Mama juga telah buta.”
“Aku yang akan menuliskannya untuk Mama, berceritalah.” Aku memeluknya dengan berlinangan air mata.
Hari-hari berlalu, waktuku lebih banyak terbuang dengan menenami Mama sembari menuliskan kalimat-kalimat yang dia lantungkan. Terkadang merasa jenuh dengan aktivitas tersebut, sedangkan keuangan kami sudah sangat menipis. Ketika menemukan sebuah puisi yang tercantum di helaian surat kabar yang menjadi alas panci di dapur, aku berniat untuk mengirimkan tulisan hasil dari buah pemikiran Mama. Tiga kali aku mengirim, tapi ternyata tulisan itu tidak pernah diterbitkan.
Rasa bosan mulai menghadangku, sampai suatu hari Mama menyuruhku menulis cerita pendek yang menambah kejengkelanku. Namun, aku mengikutinya saja dan menulis setiap kata yang keluar dari mulutnya. Entah mengapa aku terbawa arus dengan cerita yang diutarakan olehnya. Tulisan mengalir lancar bersama dengan air mataku yang tak bisa kubendung. Hatiku betul-betul hadir dalam setiap kata yang diungkapkan Mama. Tulisan itu kemudian kupindahkan ke laptop tua milikku dan mengirimnya kembali ke sebuah surat kabar. Selang beberapa hari, aku mendapat konfirmasi bahwa tulisanku telah diterbitkan dan mendapat sedikit komisi. Dengan riang gembira kuhampiri bilik Mama untuk mengungkapkan kebahagiaanku. Namun, ternyata Mama sedang tertidur pulas. Kubuka kembali cerpen tersebut sembari menunggu Mama bangun dari tidur lelapnya. Ceritanya sungguh menyedihkan, ayahnya meninggal dunia ketika umurnya berumur lima tahun.
“Mulai sekarang kamu harus belajar menulis dengan ide kamu sendiri yah, Ayah tak perlu lagi mengajarimu.” Seperti itu kesan terkhir Ayahnya sebelum dia meninggal dunia.
Tampaknya cerita itu ditujukan kepadaku, Mama tidak pernah bangun lagi semenjak hari itu, dia telah tertidur untuk selama-lamanya. Dia telah meninggalkanku untuk selama-lamanya. Rasanya kedua tanganku sudah tak bersaraf lagi, aku tak bisa menulis apa-apa tanpa Mama di sampingku. Namun, walau bagaimanapun aku selalu dihantui oleh pesan di cerpen itu.
“Kutuliskan Untukmu.” Merupakan novel pertamaku yang terbit dua tahun kemudian. Aku tak pernah menyesal menulis untuk Mama.
Penulis : Nurhidayah Kasim
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas
Angkatan 2015