Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin atau KMFIB-UH merupakan lembaga kemahasiswaan induk yang berada di Fakultas Ilmu Budaya Unhas. Dimana menaungi beberapa Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Sejak dua tahun lalu, kami (baca: mahasiswa baru) diperkenalkan oleh senior perihal seluk beluk yang ada di lingkup KMFIB-UH. Kami diberikan penjelasan dan pemantik akan pentingnya lembaga kemahasiswaan sekaligus menjadi aktivis kampus. Mereka menjelaskan betapa temehnya menjalani hidup sebagai mahasiswa bila tak diwarnai dengan lembaga kemahasiswaan.
Setelah melakoni proses pengaderan, saya disahkan menjadi warga KMFIB-UH. Selama masih berstatus mahasiswa, selain hak suara dan hak bicara, saya masih memiliki keterikatan dan hubungan dengan segala hal yang ada di lingkup KMFIB-UH.
Termasuk kondisi kekinian: perihal minimnya partisipasi warga di setiap forum diskusi dan kegiatan yang ada, mandeknya kinerja lembaga kemahasiswaan, tergerusnya identitas, dan juga idealitas mahasiswa serta kondisi lainnya.
Sejak Emir Raufi turun dari kursi jabatan sebagai Ketua BEM KMFIB-UH pada, 6 Desember 2019, KMFIB-UH tidak lagi memiliki pejabat struktural. Ketika mengalami kekosongan kekuasaan, Kongres Istimewa merupakan pilihan kolektif warga KMFIB-UH untuk menanggulangi kondisi tersebut.
Akan tetapi, kongres istimewa ini pun tidak dapat bekerja dengan baik dan belum melahirkan solusi yang tepat. Ini terbukti dari pelaksanaannya yang cukup lama. Memakan waktu hampir satu tahun sejak pertama kali dibuka pada, 18 Desember 2019. Tak hanya perihal pademi Covid-19, namun partisipasi warga dan utusan HMD serta UKM menjadi determinan utama bagi keberlangsungan kongres yang cukup alot.
Hingga beberapa HMD yang telah memiliki pengurus baru, BEM KMFIB-UH masih saja tidak memiliki pejabat struktural. Tentunya, kondisi ini memiliki dampak sistemis yang signifikan bagi kelangsungan lembaga di KMFIB-UH.
Baca Juga : Carut Marut Aturan Stikerisasi Kendaraan
Muncul pertanyaan besar, apa yang menjadi penyebab utama dari kondisi tersebut? Setelah beberapa waktu memikirkannya, saya memiliki tiga jawaban: kultur kampus yang mulai hilang, daya juang aktivis yang kian melemah dan tipologi aktivis kampus yang semakin tak jelas untuk diterka.
Menurut Ubedillah Badrun dalam bukunya Menjadi Aktivis Kampus Zaman Now (2018) memaparkan dan membedah serta memberikan solusi yang tepat bagi tiga hal di atas. Baginya, kultur kampus yang harus ada dan tetap dilestarikan oleh aktivis kampus sebagai berikut:
Pertama,kultur intelektual yang meliputi budaya dan praktik membaca, budaya diskusi, budaya merenung, budaya menulis, budaya meneliti, dan budaya responsif atas berbagai permasalahan yang hadir.
Kedua, kultur demokratik dimana lembaga kemahasiswaan memiliki efek yang konstruktif. Ini disebabkan pada kultur demokratis terdapat ruang kritik, kontrol dan kesetaraan.
Ketiga, kultur profesional yang mengandung makna perwatakan yang bertanggung jawab atas profesinya atau beban kerja yang disematkan.
Selain itu, daya juang aktivis kampus atau ketahanan (enduring) menjadi indikator kuat atau tidaknya idealisme aktivis kampus. Tradisi intelektual, tradisi sprititual dan tradisi kepekaan sosial dapat menjadi cara jitu untuk menakar seberapa kuat daya juang para aktivis kampus.
Apabila ketiga tradisi tersebut dalam kondisi tinggi maka dapat melahirkan idealisme dan daya juang yang kuat. Sebaliknya, ketiga tradisi itu dalam kondisi rendah atau melemah, maka dipastikan melahirkan idealisme dan daya juang yang rendah.
Tidak berhenti sampai poin di atas, tipologi aktivis kampus juga merupakan hal yang penting untuk diketahui. Umumnya, aktivis kampus dapat dipetakan menjadi tiga poin: Realis-Kritis, Realis-Pragmatis dan Radikal-Revolusioner.
Aktivis kampus yang realis-kritis adalah mereka yang berpikir realistik, tetapi sambil mengusung sejumlah agenda perjuangan pada isu tertentu dengan cara-cara yang kritis. Bagi mereka, pangkat, pujian atau apapun itu tidak dapat menggugurkan idealismenya sebagai aktivis kampus. Sedangkan tipe kedua, realis-pragmatis, hampir serupa dengan tipe pertama. Hanya saja, apabila kritisismenya berada pada posisi tak berdaya, mereka dengan gampangnya mendompleng dan menjadi alat kekuasaan.
Baca Juga : Polemik RUU Haluan Ideologi Pancasila
Adapun tipe ketiga, radikal-revolusioner, merupakan aktivis kampus yang memiliki pemikiran radikal dan bertindak revolusioner. Artinya, aktivis ini tidak hanya bergerak sebagai moral force, namun sudah masuk kategori aktivis mahasiswa yang terkesan politis dan radikal untuk menerapkan cita-cita yang diinginkannya.
Agaknya, kultur kampus yang dipaparkan oleh Ubedillah Badrun di atas perlu untuk dielaborasi lebih lanjut. Membaca, menulis, berdiskusi, meneliti dan cakap dalam menghadapi perubahan serta perkembangan zaman merupakan kultur intelektual yang sedikit terdegradasi dalam lingkup KMFIB-UH. Tak hanya itu, kultur demokratik sebagai ruang kritik, kontrol dan kesetaraan perlu untuk dimaknai kembali. Serta kultur profesionalisme, agar tupoksi kerja dan orientasi fungsi dapat terealisasi sebagaimana mestinya.
Kultur intelektual, selain menjadi keniscayaan juga dapat menjadi parameter bagi kuat atau tidaknya idealisme dan daya juang warga KMFIB-UH sebagai aktivis kampus. Kuat dan tingginya kultur intelektual di lingkup KMFIB-UH akan memantik kesadaran aktivis kampus yang bermental realistik, kritis, cakap dan tidak mudah untuk memperjual-belikan idealismenya dengan apapun.
Sepakat Jalan Bersama!
Penulis : Ahmad Nurfajri Syahidallah
Mahasiswa Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya,
angkatan 2018.