Hiduplah Indonesia Raya…
Penggalan terakhir lagu Kebangsaan Indonesia Raya baru saja terdengar. Bendera merah putih telah sampai di puncaknya. Barisan tangan yang hormat diturunkan setelah aba-aba dari komandan upacara.
“Mas..Mas..” wanita paruh baya yang tengah mengupas kulit bawang merah depan televisi itu tengah memanggil anaknya.
“Anak itu, jam segini belum bangun,” ia lalu bangkit sembari meletakkan pisau yang digenggamnya. Takut kalau nanti tak dapat menahan emosi, bila pisau yang tadinya untuk mengupas kulit bawang beralih mengupas kulit putrinya.
“MASITA! Ya Allah.. Bangun kamu! Itu orang-orang sudah upacara, sedangkan kamu di rumah masih tidur,” ucapnya sembari menunjuk ke sembarang arah ketika melihat putrinya masih bersembunyi dibalik selimut berkarakter angry birds itu.
“5 menit bu,” yang dibangunkan akhirnya bersuara meskipun terdengar sangat berat. “Masita baru tidur sebentar bu,” suara berat masih terdengar saat melakukan penawaran pada wanita yang memarahinya.
“Lagian salah sendiri, siapa suruh main handphone sampai subuh. Itu upacara di TV sudah mau selesai kamu enggak mau liat?”
“Astaga ibu! Kenapa ibu baru bangunin sekarang,” Masita lalu meninggalkan kamarnya dan berlari ke arah TV.
“Yah ibu, udah bubar upacaranya,” Masita pasrah.
“Salah sendiri dari tadi ibu bangunkan tapi enggak bangun bangun,” ibu Masita lalu kembali mengupas kulit bawangnya.
Sementara Masita masih merajuk dan mendiami ibunya, bapaknya muncul dari arah kamar. “Loh bapak! Kok masih di rumah?” tanya Masita yang heran, pasalnya biasanya jam segini bapaknya sudah berangkat bekerja.
“Memangnya mau ke mana kalau bukan di rumah?”
“Bapak enggak narik angkot?” tanya Masita. “Hari ini bapak enggak narik, kan 17 an,” jawabnya. “Oh iya Masita lupa gara-gara enggak nonton upacara sih,” ucap Masita sembari melirik ke arah ibunya yang sedang bercucuran air mata karena mengupas bawang.
“Kenapa liat ibu? Orang kamu yang salah,” ibu membalas lirikan Masita. “Sudah, sudah jangan bertengkar! Sekarang Mas (Sapaan akrab Masita) mandi, ganti baju terus ikut bapak keluar,” bujuk bapak pada gadis berusia 15 tahun itu.
Setelah bersiap-siap Masita menemui bapak yang sedang memanaskan mesin angkot di depan rumah. “Kita mau ke mana pak?” tanya Masita.
“Tidak perlu bertanya, sekarang mas pakai ini!” ucap bapak sembari menyerahkan pita berwarna merah putih yang biasa dikenakan saat 17 an sebagai hiasan kepala.
“Untuk apa pak?” “Sudah pakai saja!” Masita yang paham akhirnya mengenakan pita tersebut. Bapak dan Masita pun menaiki angkot dengan pertanyaan yang masih bersarang di kepalanya karena tak tahu mereka akan ke mana.
“Sebenarnya kita mau ke mana pak?” tanyanya lagi saat angkot mereka sudah menjauh dari arah rumah. “Bapak mau mengajak ke suatu tempat,” jawab bapak.
“Ke mana pak?” tanya Masita lagi. “Sudah, nanti juga Mas liat sendiri,”
Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan, angkot berhenti pada sebuah tempat yang terlihat begitu ramai. Masita yang melihat hal itu beralih menatap bapaknya sebagai isyarat bahwa ia bertanya untuk apa mereka ke sini. “Ayo turun!” ajak bapak sembari mengenakan juga aksesoris kepala seperti yang dikenakan Masita.
Setelah mendekat ke arah keramaian tersebut, Masita dibuat kaget ketika pemandu acara menyebutkan nama yang mirip dengannya untuk menjadi salah satu peserta lomba. Namun Masita masih membeku, ia tidak pernah merasa dirinya pernah mendaftar ikut lomba, jadi mana mungkin namanya yang disebut.
“Masita!” panggil MC kembali. “Mas ayo maju!” pintah bapak.
“Hah?”
“Itu nama kamu dipanggil.” Masita yang masih bingung akhirnya memutuskan untuk maju ke arah peserta. Masita kini mengenakan karung yang akan digunakannya untuk lomba balap karung. “Bersiap! Mulai!” begitu teriak MC. Masita kini celingak celinguk melihat ke segala arah lalu berakhir menatap bapaknya yang berdiri di barisan penonton. Bapak yang paham bahwa anaknya tengah kebingungan itu hanya mengangguk, mengisyaratkan bahwa Masita harus segera maju.
Masita tidak pernah menyangka bahwa selama 15 tahun hidupnya ia akan merasakan kebahagiaan seperti ini hanya karena mengikuti lomba balap karung, lari kelereng, dan makan kerupuk. Pasalnya selama ini ketika agustus-an ia hanya akan duduk di depan TV, dan menyaksikan upacara yang dilaksanakan di istana merdeka. Jika bukan karena inisiatif bapaknya, ia selamanya tidak akan pernah tahu bahwa banyak hal menyenangkan di luar sana kalau saja Masita tidak mengurung diri dari keramaian.
***
“Masita! Masita!” panggil seorang pria yang mengenakan pakaian lengkap pasukan pengibar bendera. Para pasukan pengibar bendera kecamatan tengah berkumpul di sebuah rumah yang sengaja disiapkan untuk mereka bersiap-siap sebelum turun ke lapangan.
“Masita!” laki-laki itu menggerakkan tangannya di depan wajah Masita. “Hah iya Ri, kenapa?” jawabnya yang juga mengenakan pakaian lengkap paskibraka. “Kamu yang kenapa? Kok ngelamun,” tanya pria itu.
“Tidak apa-apa,”.
“Terus kenapa ngelamun? Kamu gugup yah? Udah tenang aja, kita pasti bisa,” ucap pria bernama Ari itu mencoba menenangkan.
“tidak, aku cuma teringat sesuatu,” jawab Masita akhirnya. “Apa?” tanya Ari yang penasaran.
“dua tahun lalu, waktu aku umur 15 tahun itu pertama kalinya aku merasakan agustus-an terbaik dalam hidup aku,” ucap Masita.
“Iya dan sekarang lebih terbaik lagi karena kamu bisa jadi pembawa baki untuk penaikan bendera, yah walaupun cuma di kecamatan hehe,” jelas Ari. “Beda Ri, dulu aku ngerayainnya sama bapak.”
“Sekarang pasti bapak kamu lebih bangga liat kamu di sini.” “tidak Ri, sekarang bapak enggak bisa lihat aku lagi, dia belum sempat lihat aku pakai seragam ini. karena ternyata, waktu itu adalah hari terakhir aku bersama bapak,” ucap Masita sambil menyeka sedikit air matanya.
Penulis : Vivi Asjuhamdayani,
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Unhas
Angkatan 2018.